PEMILU, Perjuangan Vs Kecurangan

PEMILU, Perjuangan Vs Kecurangan

Bacaan Lainnya

Oleh: Dian Martiani

SUDAH sekitar delapan kali saya berpengalaman menjadi pemilih pada pesta demokrasi lima tahunan bernama Pemilihan Umum (Pemilu) ini. Di awali saat masa orde baru, dimana partai hanya terdiri dari tiga saja, yang menggambarkan secara jelas ideologi yang diusungnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sudah menjadi rahasia umum, sebagai anak dari pasangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu, saya diarahkan untuk memilih Partai bergambar pohon beringin. Namun hanya saya dan Tuhan yang tahu, apa yang saya coblos dalam bilik suara. Posisi sebagai Mahasiswa saat itu, membuat saya sudah memiliki pertimbangan tersendiri dalam menentukan pilihan.

Seiring waktu berlalu, regulasi-regulasi terkait Pemilu mengalami berbagai macam perubahan. Lembaga-lembaga penyelenggara dan pengawas bertumbuhan. Relawan-relawan hadir sebagai bagian dari perhelatan nasional itu. Paska Gerakan Reformasi bermunculan banyak Partai, bagai jamur dimusim hujan.

Kisah suka duka dan haru biru, selalu menyertai kegiatan lima tahunan ini. Terkhusus kisah kisah yang menyertai para pejuang demokrasi baik sebagai peserta Pemilu, Penyelenggara, Relawan, Pengawas, maupun para saksi. Bahkan kisah ini juga dialami para simpatisan jagoannya masing-masing.

Tidak sedikit korban berjatuhan. Bahkan ada diantaranya sampai kehilangan nyawa, sebelum, saat, maupun paska bertugas. Kebanyakan faktornya adalah kelelahan dan dehidrasi. Satu hal yang sangat membuat kita merasakan kedukaan yang sangat dalam.

Bagaimana tidak, Pemilu Serentak untuk Pemilihan Presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten ini memakan waktu yang sangat lama, terutama saat persiapan penghitungan, proses penghitungan, pembuatan berita acara dan kelengkapan administrasi yang harus dibuat oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk kemudian didistribusikan kepada pihak terkait seperti saksi dan panitia ad hoc Pemilu terkait.

Semua proses dilakukan secara manual. Mulai dari menghitung kertas suara, menerangkan isi dan memeriksa kertas suara, mencoblos, mengecek kecukupan dan kesesuaian data yang harus sinkron, menempel form plano didinding, menyalin data ke form C1, menandatangani berita acara, membagikan C1, merapikan kertas suara dan plano, menukarnya sebanyak lima kali, mencatat semua data real. Semua membutuhkan pemahaman/kompetensi, kecakapan, ketangkasan, kegesitan, dan sistematika kerja yang rapi dan cepat.

Maka, menurut pengamatan saya, beberapa hal yang menjadi penyebab proses ini menjadi begitu lama adalah, KPPS yang memiliki pemahaman/kapasitas dan kegesitan yang belum mumpuni (mungkin karena belum berpengalaman dan regulasi yang dipelajari ada yang baru), pemahaman saksi yang berbeda-beda, situasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang kurang kondusif, Pengawas yang kurang dan lama memberikan keputusan, serta kondisi masyarakat saat perhitungan, yang kadang membuat suasana perhitungan menjadi alot.

Meski saat Pemilu serentak ini, jumlah pemilih di satu TPS diminimalisir, hanya maksimal 300 orang per TPS namun tetap saja prosesnya berjalan lama, boleh jadi karena faktor-faktor diatas.

Sebenarnya di era digital ini, sudah disediakan sistem dan aplikasi online untuk mempercepat input data untuk kemudian bisa direkap secara cepat. Alih-alih mempercepat proses, malah ada dugaan bahwa justru aplikasi ini disalahgunakan sebagai salah satu media untuk melakukan kecurangan. Sungguh sangat disayangkan.

Data-data manual semacam C1, masih sangat relevan sebagai bukti otentik yang tidak terbantahkan.

Perjuangan dan kerja keras telah dilakukan berbagai kalangan dari mulai membantu mengedukasi dengan cara mensosialisasikan tatacara Pemilu dan pencoblosan. Melakukan pencoblosan kemudian melakukan proses penghitungan suara sampai selesai. Ada banyak pengorbanan yang telah dipersembahkan, perjuangan waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi. Bahkan tidak sedikit menyisakan cidera sosial semacam perpecahan di masyarakat.

Dengan segala pengorbanan yang telah dilakukan anak-anak bangsa ini, maka akan sangat menyakitkan jika masih ada oknum-oknum dan pihak-pihak yang berupaya melakukan kecurangan. Hal ini sungguh mencoreng wajah Demokrasi di negeri ini. Memberikan contoh buruk kepada generasi muda, dan dapat menyakiti pihak yang dirugikan. Jika ada, mereka dapat dikategorikan sebagai penghianat bangsa.

Mari kita jaga negeri ini, dari tangan-tangan kotor yang berusaha memporak porandakan tatanan bernegara. Yang sudah mencabik-cabik perasaan rakyat Indonesia. Dan sudah mempersembahkan dusta secara masif kehadapan kita semua.

Sudah ada kabar gembira dari beberapa tokoh intelektual muda, para akademisi, dan professional yang menunjukkan kegelisahan terhadap cacatnya proses demokrasi yang dipertontonkan oleh sebagian elit negeri ini. Semoga mereka Allah jaga dengan sebaik-baik penjagaan.

Mari bersama-sama belajar untuk bersikap sportif. Kapan lagi kita biasakan untuk bersaing sehat. Menunjukkan sikap ksatria sejati. Sebagai teladan bagi generasi muda. Jika Pemilu kali ini dipertontonkan kembali kecurangan yang diakomodir, bisa jadi rakyat akan semakin muak dan memilih jalan lain untuk memperjuangkan demokrasinya sendiri.

Kita tidak sedang mengkhawatirkan diri kita, namun menjaga keselamatan masa depan anak cucu kita.–(***)

*). Penulis, Pengamat Politik, tinggal di Padang Sumatera Barat

#sinergi

Pos terkait