Oleh Sudirman Indra
Sejak zaman dahulu, sebelum kedatangan Belanda, hubungan antara warga Tionghoa dan masyarakat lokal di Kalimantan Barat (Kalbar) terjalin harmonis. Kawin silang antara kedua kelompok ini sangat umum, mencerminkan keberagaman yang telah lama ada.
Sebagian besar warga Tionghoa—sekitar 90 persen—menggeluti bidang pertanian dan peternakan, sementara sisanya bekerja sebagai pedagang, tukang besi, atau tukang kayu. Mereka dikenal sebagai pekerja keras dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ekonomi di Kalbar.
Namun, kedatangan Belanda membawa perubahan besar. Infrastruktur mulai dibangun, dengan jalan-jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Singkawang, dan Sambas. Pembukaan jalan ini disambut gembira oleh warga setempat yang mulai menikmati barang-barang impor, seperti sabun mandi dan tepung susu dari Belanda. Warga Tionghoa, yang sebelumnya berperan sebagai tenaga kerja, kemudian diajarkan untuk memproduksi sabun batangan dan garam bata, sekaligus diberi julukan “Hollan Jok.”
Pada abad ke-17, Sultan Mempawah mengundang pekerja tambang asal Tiongkok, termasuk Lang Fong, untuk menambang emas di Kalbar. Keberhasilan dalam mencari emas membawa kebanggaan bagi Sultan Mempawah, yang kemudian memberikan mandat kepada Lang Fong untuk mengolah emas dan melakukan perdagangan, menyerupai sistem pemerintahan republik daerah Mandor. Namun, kekuatan Lang Fong akhirnya dihancurkan oleh Belanda, yang juga membubarkan kongsi dagangnya. Meski begitu, masyarakat setempat membangun tugu peringatan di Mandor sebagai pengingat perjuangan tersebut, yang masih dapat ditemukan hingga saat ini.
Perubahan signifikan terjadi ketika Jepang menginvasi Kalbar pada tahun 1943. Dalam masa pendudukan ini, warga Tionghoa, para guru, pedagang, dan intelektual dibunuh dengan kejam, bersama dengan penduduk lokal. Kejadian tragis ini memicu diskusi di antara warga Tionghoa dan masyarakat setempat mengenai cara untuk mengusir Jepang. Dengan informasi yang mereka dapatkan melalui radio yang menerima siaran dari Malaysia dan Singapura, serta semangat perjuangan untuk kemerdekaan, mereka mulai berani melawan penjajah. Pada Agustus 1945, meskipun sebagian wilayah belum sepenuhnya merdeka, mereka sudah mengetahui bahwa Jepang telah kalah.
Namun, konflik di Tiongkok pada periode 1940-1949, antara Partai Sosialis dan Partai Komunis, turut memengaruhi warga Tionghoa di Kalbar. Beberapa memilih bergabung dengan Partai Komunis, sementara yang lain memilih mendukung Partai Sosialis. Keadaan ini turut mewarnai kehidupan politik di wilayah Kalbar, yang berlanjut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 pada tahun 1959, memberikan kebebasan bagi warga Tionghoa untuk memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA).
Era Orde Baru membawa perubahan lebih lanjut. Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 menyebabkan penutupan sekolah-sekolah berbahasa Mandarin dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa semakin meluas. Tragedi berdarah terjadi pada 1967 di Kalbar, menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda, terutama di daerah Anjungan, Darit, dan Bengkayang. Ketegangan ini menambah pemisahan sosial antara warga Tionghoa dan masyarakat lokal.
Peristiwa 1967 juga memicu krisis pangan, khususnya beras dan hasil kebun. Pada masa itu, perekonomian kota Pontianak lumpuh total, dan banyak warga yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Aktivitas ekonomi terhenti, dan dampak dari kebijakan politik tersebut menciptakan zona merah yang menghantui wilayah tersebut hingga tahun 1980-an. Tidak ada investor yang datang ke Kalbar, dan daerah ini kesulitan untuk berkembang.
Pada akhirnya, sejarah yang ditulis sering kali dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa, dan kebenaran sering kali terdistorsi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggali dan memahami sejarah dengan cermat, terutama terkait perjuangan masyarakat Tionghoa di Kalbar, yang memiliki peran penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah tersebut.
Untuk itu, mempelajari sejarah dengan objektivitas memungkinkan kita untuk lebih memahami peran masyarakat Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan kontribusi mereka dalam kehidupan sosial-ekonomi yang berkembang hingga saat ini. Dengan mengenal dan menghargai sejarah yang sebenarnya, kita dapat mempererat hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal, serta memperkuat rasa persatuan dalam keberagaman di Kalbar.–(***)
*). Penulis Pemerhati sosial, lahir dan dibesarkan di Kalimantan Barat