Belajar Daring dan Buah Simalakama

Belajar Daring dan Buah Simalakama

Oleh,  Dian Martiani

Bacaan Lainnya

Pemerhati Pendidikan

SAYA baru tahu jika buah Simalakama itu benar-benar ada.  Ketika akan membuat tulisan ini, saya riset referensi, mencari tampilan gambar buah simalakama dan bagaimana bentuknya. Semula, setengah yakin akan menemukannya.  Ternyata buah ini benar-benar ada

Buah simalakama lebih dikenal dengan nama Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa). Tanaman ini banyak tumbuh di daerah Sumatera. Di daerah lain tanaman ini  mempunyai beberapa sebutan lain seperti makutadewa, makutoratu, makurojo dan lainnya (Indonesia.id).

Dalam laman Brilio.netdinyatakan buah ini biasa digunakan untuk menyembuhkan penyakit liver, kanker, jantung, hepatitis maupun luka gigitan serangga.  Buah ini juga bisa sebagai obat diabetes dengan cara merebus 5-6 buah dengan air bersih untuk diminum 3x sehari. Namun dalam pengolahannya harus dilakukan secara hati-hati karena mengandung kadar racun tinggi terutama untuk ibu hamil.

Racun tersebut dapat menyebabkan efek sariawan bagi mulut.  Obat sekaligus racun, mungkin ini latar belakang datangnya pepatah yang memakai istilah buah simalakama.  Pepatah ini sangat populer di Indonesia.

Pepatah yang mengatakan; “bagai makan buah simalakama”, menunjukkan kita dihadapkan pada dua  pilihan yang sulit.  Sama-sama mengandung resiko.  Ada yang ekstrim mengatakan jika dimakan, ayah mati, tidak dimakan, ibu mati.  Dua pilihan yang sama-sama mengandung konsekuensi yang tidak diinginkan.

Saat ini, kita serasa makan buah simalakama, menghadapi kebijkan Belajar dari Rumah (BDR), Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), atau pembelajaran Dalam Jaringan (Daring).

Selama ini, sebelum Pandemi melanda,  sekuat tenaga dan sedemikan rupa kita, para orang tua, mengupayakan menjaga jarak antara anak kita dengan gadget,  salah satunya Mobile Phone atau yang lebih populer disebut Handphone ( HP).

Banyak referensi mengatakan bahwa interaksi yang terlalu banyak dengan HP di usia dini, sangat tidak dianjurkan, karena lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya.  Apalagi pada anak-anak kita yang belum pandai membaca, akan berpengaruh terhadap kecepatan penangkapan kemampuan membacanya (Ery Soekresno, Psikolog).

Seorang guru yang menjadi peserta Webinar bertemakan Pembelajaran di era Covid, mengeluhkan bahwa setelah diperhatikan dan digali, peserta didiknya hanya sebentar membuka konten pembelajaran yang dishare oleh gurunya.  Selebihnya mereka menggunakan kesempatan (berdekatan dengan gadget) ini untuk berinteraksi dengan konten-konten “sampah” seperti game yang mengandung kekerasan atau hanya untuk kesenangan yang cenderung menghabiskan waktu, SARA, bahkan pornografi.

Terlepas dari alasan bahwa konten pembelajaran  yang di share gurunya tidak menarik, jadul, monoton, dan kurang kekinian, kondisi ini patut menjadi menjadi perhatian kita bersama.  Sistem pembelajaran secara daring, menuntut, siswa memiliki gadget pribadi.  Mereka tak bisa saling meminjam, karena sesekali, harus mengikuti pembelajaran khusus (zoom misalnya), pada waktu yang bersamaan.

Kondisi ini akan lebih parah, jika mereka mengoperasikan gadgetnya tanpa pendampingan orang tua atau orang dewasa. Masih banyak orang tua yang harus tetap bekerja, sementara anak-anak tinggal di rumah.

Kebiasaan sebagian besar anak-anak Indonesia berinteraksi dengan gadget, seperti bermain game online, mendapatkan informasi serba cepat dan instant, serta terbiasa bersenang-senang menikmati berbagai konten dalam gadgetnya, menciptakan generasi yang kurang tangguh.

Selain itu, cenderung membentuk anak-anak  tidak tahan berjuang dan berada pada kondisi dalam tekanan, tidak tahan proses, memecahkan masalah cenderung dengan cara instan, kurang humble (ramah), gagap tatakrama sosial, serta tidak cinta membaca, karena terbiasa dengan literasi instan, yang kadang bersifat parsial.

Pembelajaran Daring, disinyalir memiliki beberapa kelemahan, diantaranya  : Pertama, tidak ada interaksi langsung antara guru dan siswa, sementara penerapan karakter dan tatacara beribadah, membutuhkan teladan langsung dan pembiasaan, dan harus berlatih secara berulang-ulang.

Kedua, Tugas perkembangan sosial dan bahasa kurang dapat berkembang, karena mereka hanya berinteraksi dengan sesama manusia, melalui benda mati saja secara virtual.

Ketiga, jika tidak dikawal ketat, perkembangan motorik kasar tidak dapat berkembang optimal, karena mereka kurang bergerak secara fisik.  Ke empat: Mata, sebagai salah satu alat indera terpenting, beresiko mengalami kerusakan dini.  Paling tidak, mereka memiliki mata seperti Panda, akibat kelelahan yang dipaksakan, baik karena tuntutan tugas pembelajaran, maupun karena kelelahan bermain.

Seperti makan buah simalakama, jika kita tak memberikan fasilitas pembelajaran daring seperti gadget, mereka tak dapat mengikuti pembelajaran dan perkembangan informasi. Jika diberikan, apalagi tanpa pengawasan, resikonya sangat besar, terutama bagi perkembangan jiwa dan sosialnya.

Gadget sejatinya hanyalah tool(alat) teknologi yang memudahkan manusia menjalankan fungsinya.  Ia ibarat pisau, dapat digunakan sebagai alat kebaikan (untuk memotong buah, misalnya), namun juga dapat disalahgunakan untuk melakukan kejahatan(membunuh misalnya).  Ajarkan anak-anak kita bijak dalam bersikap.  Menggunakan alat bantu kehidupan hanya untuk kebaikan.

Semoga Pandemi Covid-19 segera berlalu, dan anak-anak kita dapat mengikuti dan melaksanakan semua tugas belajar secara alami dan  secara normal, sehingga  potensinya dapat tumbuh dan berkembang.—(***)

Pos terkait