Lebak, Bantengate.id–Permainan tradisional kolecer, kini dirindukan oleh komunitas permainan tradisional kolecer di Kabupaten Lebak, Banten. Kolecer memiliki fungsi dan peran yang penting bagi para petani tradisional, sebagai media untuk mengusir burung, terutama saat tanaman padi atau kacang tumbuh menjadi kecambah. Kolecer juga memiliki nilai filosofis yang mendalam dalam kehidupan masyarakat di tatar sunda.
Bagi masyarakat Leuwidamar, Kabupaten Lebak, permainan kolecer sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Rizki (35 tahun) dan Arif (40 tahun), dua bersaudara asal Leuwidamar, mengenang kembali momen perlombaan kolecer yang pernah digelar di Bojongmanik sekitar dua tahun yang lalu, saat masa kepemimpinan Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya.
“Perlombaan kolecer di Bojongmanik sempat digelar sekitar dua tahun yang lalu. Alhamdulillah, kolecer yang saya mainkan memenangkan juara pertama dan mendapatkan hadiah domba,” kenang Arif saat berbincang di kediamannya, Leuwigoong, Minggu (9/2/2025)., sekitar 57 KM dari Kota Rangakasbitung.
Rizki menambahkan bahwa ia dan kakaknya memiliki koleksi kolecer sebanyak 17 buah, dengan panjang sekitar tujuh meter. Beberapa kolecer terbuat dari kayu cengkeh dan kayu laban. “Kolecer yang terbuat dari kayu cengkeh sudah ada yang menawar Rp 15 juta, tapi kakak tidak mau menjualnya. Itu untuk koleksi dan diperlkan saat berlomba,” jelas Rizki.
Perlombaan kolecer menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemarnya. Dalam perlombaan ini, kolecer tidak hanya dinilai berdasarkan kecepatan putarannya, tetapi juga suara yang dihasilkan. Kolecer yang baik akan berputar cepat seperti baling-baling pesawat dan tiba-tiba berhenti sejenak, lalu mengeluarkan suara keras. Kemduian, berputar kembali dengan suara yang kencang. Proses ini berulang seiring dengan perputaran kolecer.
Salah satu tantangan dalam perlombaan adalah peran pawang untuk memanggil angin agar kolecer dapat berputar dengan maksimal. “Pada perlombaan di Bojongmanik, kami menggunakan tiga pawang dengan biaya Rp 15 juta. Kolecer saya mendapatkan hadiah motor Scoopy,” tambah Rizki.
Rizki berharap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lebak dapat mengagendakan perlombaan atau Festival kolecer sebagai bagian dari event destinasi wisata di Lebak, agar lebih banyak orang mengenal permainan tradisional ini.
Kolecer (bahasa sunda), juga dikenal dengan nama baling-baling atau kitiran (Jawa) Pindekan ( Bali) bukan hanya dimainkan oleh anak-anak, tetapi juga menjadi kegiatan yang populer di kalangan orang dewasa. Permainan ini biasanya dimainkan di ladang atau bukit. Semakin kencang angin, semakin cepat kolecer berputar. Kolecer untuk anak-anak biasanya berukuran lebih kecil (sekitar 0,5 hingga 1 meter), sedangkan kolecer untuk orang dewasa bisa lebih besar (1 hingga 3,5 meter). Selain untuk mengusir burung, kolecer juga memberikan hiburan bagi masyarakat yang memainkannya.
Pada tahun 2017, kolecer diakui oleh pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), sebuah pengakuan atas nilai budaya yang terkandung dalam permainan tradisional ini. Sejak saat itu, Kabupaten Subang mulai menggelar Festival Kolecer setiap tahun hingga 2019, sebelum akhirnya terhenti akibat pandemi Covid-19. Kini, kolecer yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Sunda semakin langka ditemui, kecuali di komunitas-komunitas tertentu sebagai hiburan dan upaya pelestarian.
Kolecer biasanya dimainkan setelah selesai menanam padi di huma. Ketika padi mulai tumbuh, burung-burung akan datang untuk memakan biji-bijian tersebut. Untuk mengusir burung, para petani membuat kolecer dan memasangnya di tengah ladang atau huma. Panjang baling-baling kolecer bervariasi, mulai dari setengah meter hingga empat meter, dengan tiang penyangga yang memiliki ketinggian antara tujuh hingga lima belas meter. Bagian ekor kolecer sering kali menggunakan daun kelapa atau daun aren.
Sebagai bagian dari kebudayaan Sunda, kolecer tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi para pemainnya. Dengan pelestarian yang terus dilakukan oleh komunitas, diharapkan permainan tradisional ini dapat terus dikenalkan dan dinikmati oleh generasi mendatang, sebagai bagian dari identitas budaya dan simbol keunikan dan kekayaan warisan budaya Sunda yang harus dilestarikan.— (dimas)