Rangkasbitung, Bantengate.id — Pemerintah Kabupaten Lebak kembali menggelar Festival Seni Multatuli (FSM) pada tahun 2024, sebuah perayaan budaya yang kental dengan nilai sejarah dan tradisi lokal. Festival yang berlangsung di Alun-Alun Rangkasbitung, Banten, ini dibuka oleh Penjabat (Pj) Bupati Lebak, Gunawan Rusminto, pada Jumat, 13 September 2024.
Gunawan berharap agar FSM bisa menjadi instrumen penting dalam melestarikan budaya lokal serta meningkatkan pariwisata di Kabupaten Lebak. “Saya berharap melalui pelaksanaan Festival Seni Multatuli ini, kita dapat bersama-sama menggalai sejarah dan budaya di bumi Lebak. Mengembangkan nilai-nilai budaya, adat, serta sejarah yang ada di Lebak,” ujar Gunawan.
FSM 2024 yang bertema “Jelajah Budaya Bumi Multatuli” tidak hanya menampilkan berbagai kegiatan seni, tetapi juga berupaya untuk mendorong pariwisata lokal. Oleh karena itu diperlukan pentingnya sinergitas antara pemerintah daerah, pusat, serta masyarakat dalam meningkatkan daya tarik wisata Lebak melalui event seperti ini. Partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan budaya ini juga dinilai dapat membantu membangkitkan sektor ekonomi kreatif di bumi Kabupaten Lebak.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, Imam Rismahayadin, menyampaikan bahwa FSM 2024 memiliki tujuan untuk membangkitkan semangat juang masyarakat Lebak, khususnya dalam menjaga dan mengembangkan kearifan lokal sebagai modal pembangunan. Festival ini juga menjadi bagian dari Kharisma Event Nusantara (KEN), yang didukung penuh oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebagai salah satu platform unggulan budaya Indonesia.
Selama penyelenggaraan FSM 2024, kata Imam, sebanyak 25.806 pengunjung tercatat hadir, melebihi target awal yang ditetapkan sebanyak 25.000 pengunjung. Selain itu, terdapat 64 stand UMKM dan ekonomi kreatif yang mempromosikan produk-produk berbasis kearifan lokal, dengan total omzet penjualan mencapai Rp213.983.000. Kegiatan ini berhasil menjadi ajang promosi ekonomi kreatif Kabupaten Lebak.
Dalam pagelaran FSM 2024, juga menghadirkan beragam pertunjukan seni dan budaya yang mencerminkan kekayaan warisan lokal Kabupaten Lebak. Beberapa acara menarik yang menjadi sorotan di antaranya adalah Workshop Rampak Bedug, pertunjukan Buhun Sora, Teatrikal Multatuli, diskusi budaya, dan Karnaval Kebo atau parade nusantara. Selain itu, penampilan grup musik Samba Sunda, The Greatest Show of Saidja Adinda, dan penampilan Rafi Gimbal turut menyemarakkan acara ini.
Salah satu atraksi yang menarik perhatian publik adalah Parade Kerbau, simbol budaya agraris masyarakat Lebak yang merepresentasikan harmoni antara manusia dan alam. Parade ini mengingatkan pentingnya peran kebudayaan agraris dalam kehidupan masyarakat adat setempat.
Selain itu, festival ini juga menampilkan Teatrikal Multatuli, sebuah pementasan yang mengangkat kisah Eduard Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli. Teatrikal ini mengisahkan pengalaman Dekker selama menjadi Asisten Residen Lebak pada pertengahan abad ke-19, di mana ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah tersebut diabadikan dalam novel legendaris Max Havelaar, yang diterbitkan pada tahun 1860. Karya ini menggugah kesadaran publik Eropa tentang ketidakadilan di tanah jajahan, sekaligus menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme. Pertunjukan teatrikal ini tidak hanya menjadi hiburan bagi pengunjung, tetapi juga menyampaikan pesan kemanusiaan yang mendalam.
Selain hiburan, FSM 2024 juga menjadi ajang untuk berbagi pengetahuan melalui diskusi budaya yang membahas sejarah dan budaya lokal Lebak, serta potensi pariwisata yang dapat dikembangkan di masa depan. Diskusi ini melibatkan ahli budaya, tokoh masyarakat, dan penggiat pariwisata, yang mendiskusikan bagaimana kekayaan budaya Kabupaten Lebak dapat menjadi daya tarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Dalam kesempatan yang sama, Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama Kemenparekraf, Dadang Rizki Ratman, menegaskan bahwa FSM 2024 diharapkan mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Lebak.
“Festival ini adalah kesempatan yang baik bagi Lebak untuk memperkenalkan kekayaan budayanya kepada dunia luar. Dengan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, saya yakin FSM akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pariwisata dan ekonomi kreatif di Lebak,” ujar Dadang.
Selama tahun 2024, Kabupaten Lebak menargetkan 1 juta wisatawan. Hingga Agustus 2024, jumlah kunjungan telah mencapai 787.720 orang, yang terdiri dari wisatawan domestik (wisnu) dan mancanegara (wisman).
FSM 2024 juga memberikan ruang bagi para pelaku UMKM untuk mempromosikan produk mereka melalui pameran ekonomi kreatif. Pameran ini menampilkan beragam produk lokal seperti kerajinan tangan, pakaian tradisional, hingga makanan khas Kabupaten Lebak. Para pelaku UMKM memanfaatkan momen ini untuk memperluas jaringan dan meningkatkan daya saing produk mereka, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Keterlibatan UMKM dalam festival ini menjadi bukti bahwa seni dan budaya dapat berjalan seiring dengan pengembangan ekonomi lokal. Dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah dan pusat, diharapkan para pelaku usaha lokal dapat terus berkembang dan berkontribusi dalam membangkitkan perekonomian Kabupaten Lebak.
Festival Seni Multatuli tidak lepas dari nama besar Eduard Douwes Dekker, seorang pejabat kolonial Belanda yang dikenal dengan karya sastranya, Max Havelaar. Selama menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak pada tahun 1856, Dekker menyaksikan berbagai penindasan terhadap rakyat pribumi yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Atas tindakan terhadap rakyat tersebut, Dekker melaporkan prilaku pejabat pribumi kepada Gubernur Jendral. Alilh-alih laporan yang diterima, Dekker, malah dipecat sebagai Asisten Residen Lebak.
Dalam posisi diberhentikan dari jabatannya, Dekker menulis buku Max Havelaar (Lelang Dagang Kopi) yang menggambarkan penderitaan rakyat Lebak akibat sistem tanam paksa. Novel ini tidak hanya menjadi kritik terhadap kebijakan kolonial, tetapi juga membuka mata dunia tentang ketidakadilan yang terjadi di tanah jajahan. Di Eropa, Max Havelaar mengguncang kesadaran masyarakat tentang realitas pahit di Hindia Belanda, sementara di Indonesia, novel ini menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan terhadap penjajahan.–(adv/disbudparlebak)