Konflik Masyarakat dan PT. MII Saling Klaim Tanah Tenjolaya: Musa Anggota DPRD Lebak Minta Pj Bupati Turun Tangan

Konflik Masyarakat dan PT. MII Saling Klaim Tanah Tenjolaya: Musa Anggota DPRD Lebak Minta Pj Bupati Turun Tangan
PT.MII -- Pintu gerbang masuk kawasan PT. MII Tenjolaya, Desa Sukatani, Malingping, Banten Selatan.--(Foto: dimas)

Lebak, Bantengate.id –Anggota DPRD Kabupaten Lebak, Musa Weliansyah, mengaku prihatin terjadinya konflik antara masyarakat dan PT MII atas lahan di Blok Tenjolaya, Desa Sukatani, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten, berbuntut pada pemanggilan sejumlah warga oleh Polres Lebak.

Bacaan Lainnya

Musa meminta kepada Penjabat Bupati Lebak, Iwan Kurniawan, untuk segera turun tangan agar konflik tidak berkepanjangan. Selain itu, kepada Polres Lebak untuk berhati-hati dalam menangani persoalan ini. “Jangan sampai ada kesan penegak hukum berpihak pada pengusaha,” tegasnya.

Sejumlah warga Desa Sukatani dipanggil oleh Polres Lebak karena diduga melakukan tindak pidana mengganggu pihak yang berhak menggunakan hak atas tanah yang terdaftar sebagai sertifikat HGB PT MII. “Kalau tidak salah, ada tiga warga yang telah mendapat surat panggilan polisi untuk hari Jumat  26 Juli 2024,” kata Musa.

“Insya Allah, saya akan mengadvokasi seluruh petani penggarap tersebut dan mengawal persoalan ini hingga ke Kementerian ATR, karena banyak sekali kejanggalan yang seharusnya membuat HGB PT MII dicabut,” tegas Sekretaris Fraksi PPP DPRD Lebak ini.

“Pemanggilan warga dilakukan karena dianggap tidak memiliki izin dari PT MII yang mengklaim sebagai pemilik Hak Guna Bangunan (HGB). Namun, berdasarkan keterangan warga setempat, lahan tersebut telah digarap secara turun-temurun selama 40 tahun, jauh sebelum izin HGB tersebut terbit,”kata Musa Weliansyah.

Musa juga menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar, tanah yang telah dikuasai masyarakat dan menjadi perkampungan, serta dikuasai secara terus-menerus selama 20 tahun, dapat diakui sebagai milik masyarakat jika fungsi sosial Hak Atas Tanah tidak terpenuhi.

“Sejak lahan seluas 115 hektar di Tanjolaya dengan izin HGB Nomor 149/HGB/BPN/1993 hingga sekarang, lahan tersebut ditelantarkan. Baru sekitar tahun 2023/2024 terlihat ada kegiatan pertanian di sana, padahal izinnya adalah HGB,” kata Musa.

“Bahkan menurut Pasal 17 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, HGB yang ditelantarkan harus dihapus dan tanah kembali menjadi milik negara,” tambah Musa.

Musa meminta Polres Lebak untuk berhati-hati dalam menangani persoalan ini. “Jangan sampai ada kesan penegak hukum berpihak pada pengusaha,” tegas Sekretaris Fraksi PPP DPRD Lebak ini.

Sejumlah warga Desa Sukatani dipanggil oleh Polres Lebak karena diduga melakukan tindak pidana mengganggu pihak yang berhak menggunakan hak atas tanah yang terdaftar sebagai sertifikat HGB PT MII. “Kalau tidak salah, ada tiga warga yang telah mendapat surat panggilan polisi untuk hari Jumat (26/7/2024),” kata Musa.

“Insya Allah, saya akan mengadvokasi seluruh petani penggarap tersebut dan mengawal persoalan ini hingga ke Kementerian ATR, karena banyak sekali kejanggalan yang seharusnya membuat HGB PT MII dicabut,” tegas Musa.

Sebelumnya, pada Kamis 4 Juli 2024, akan dilaksanakan mediasi dan klarifikasi terkait tanah Tenjolaya di Aula Kantor Kecamatan Malingping, namun gagal terlaksana. Kuasa Hukum PT MII, Jimi Siregar, SH, MH, menyayangkan ketidakhadiran masyarakat untuk mediasi tersebut. PT MII juga ingin mengetahui dasar hukum masyarakat yang mengklaim memiliki tanah yang telah dimiliki PT MII selama 30 tahun dengan sertifikat HGB.

Jimi Siregar juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan somasi kepada masyarakat dan akan menempuh jalur hukum pidana atas dugaan tindak pidana yang ada.

Data yang dihimpun bahwa pembebasan lahan Tenjolaya dilakukan sekitar tahun 1990 an. Pihak atau kuasa yang melaksanakan pembebasan adalah H. Memed (alm). Lahan tersebut dibebaskan dengan harga antara Rp100-Rp150/M2.

Bersamaan dengan itu hadir pula perusahaan PT Panggung Interprice, Ltd. Yang membebaskan lahan di Desa Cipedag, Muara Binuangeun dan Wanasalam seluas 200 hektar untuk tambak udang. Namun, PT ini juga tidak melaksanakan kegiatannya sesuai peruntukannya dan lahan terlantar.

Ujang (60 tahun), warga Sukatani, mengatakan, ia bersama kerabatnya memiliki lahan di lokasi Tenjolaya dan belum menerima ganti rugi. “Saat PT MII akan melakukan perataan tanah dengan beko, kami melarang karena belum ada ganti rugi,” kata H. Ujang.

Sementara, Bos PT MII, H. Ati, yang dihubungi Bantengate.id melalui saluran selular pada Jumat  26 Juli 2024,  mengatakan bahwa pihaknya secara syah sebagai pemegang HGB atas lahan di Tenjolaya seluas 115 hektar.

“Kami sudah berulang kali meminta warga untuk bertemu dan menyampaikan data secara detail tentang status kepemilikan lahan, sehingga persoalan semakin jelas. Kita lakukan musyawarah,” kata  kata H. Ati.—(red/)

Pos terkait