Oleh, H. Edi Murpik
DIBALIK rimbunnya hutan dan terjalnya perbukitan di Lebak Selatan, Banten, terdengar suara-suara dari dalam lubang tanah: suara palu memecah batu bara, deru mesin blower, dan napas para penambang yang memburu harapan dari perut bumi. Para penambang itu, bukan penjahat. Mereka rakyat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah keterbatasan pilihan ekonomi.
Kecamatan Cihara, Panggarangan dan Bayah—tiga nama yang belakangan kerap dikaitkan dengan temapat tambang batu bara ilegal. Namun, sebutan “ilegal” ini menyembunyikan fakta yang lebih dalam: bahwa aktivitas itu tumbuh bukan karena niat melawan hukum, melainkan karena hukum belum benar-benar hadir bagi mereka. Tak ada ruang legal yang terbuka, sementara perut keluarga harus tetap diisi.
Batu bara yang digali bukan sekadar komoditas, melainkan tali kehidupan. Di saat lapangan kerja sulit, pertanian tak menjanjikan, dan harga kebutuhan melonjak, batu hitam itu menjadi “emas”. Namun, sayangnya, “emas” itu digali dalam ketidakpastian—tanpa izin, tanpa perlindungan, dan tanpa masa depan yang jelas.
Yang lebih menyakitkan, di tengah ketidaklegalan itu tumbuh praktik-praktik yang justru memeras para penambang—pungutan liar oleh oknum, intimidasi, bahkan kriminalisasi. Mereka, rakyat jelata yang seharusnya dilindungi justru dijadikan sapi perah oleh sistem yang tidak berpihak.
Dalam laman iNewsLebak.id (10/4/2025) “Abaikan Larangan Perhutani, Penambang Batu Bara Ilegal Bakal Di Razia”, disebutkan,bahwa aktivitas penambangan batu bara ilegal di lahan milik Perum Perhutani RPH Panyaungan Timur, BKPH Bayah, tepatnya di Blok Sanggo, Desa Sukajadi, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, Banten, semakin tak terkendali.
Para penambang dengan leluasa mengangkut hasil tambang menggunakan sepeda motor, membawa batu bara dari lubang menuju lokasi penimbunan sementara. Selanjutnya, batu bara tersebut diangkut dengan dump truck ke lokasi penampungan di pinggir jalan Nasional III Malingping-Bayah yang akan dibeli tengkulak.
Beberapa pekerja tambang batu bara ilegal mengatakan bahwa mereka hanya sebatas koordinator lapangan (korlap) atau penggarap lubang. “Kami punya bos, dan di Blok Sanggo ini ada beberapa orang bos batu bara,”.
Penambangan legal di wilayah Lebak Selatan, kerap memakan korban. Media cetak dan on line di Banten, menurunkan beritanya tentang tewasnya tiga penambang batu bara di Lok Batu Jago, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, meninggal dunia diduga akibat tersengat listrik pada Selasa, 4 Juni 2024.
Sementara itu, dalam laman media daring ABN (7 Maret 2025) “Maraknya Tambang Ilegal Batu Bara di Lebak Selatan Diduga Ada Bekingan Oknum APH, dipaparkan bahwa pertambangan ilegal batu bara di Lebak Selatan menjamur—dari wilayah Perhutani Kecamatan Cihara, Panggarangan dan Bayah, hingga ke tanah milik warga. Aktivitas ini diduga berlangsung karena adanya oknum yang membekingi.
Pegiat media sosial Lebak Selatan, Hasan Sadeli, yang akrab disapa Citong, menyebut bahwa para pemilik lubang dan korlap batu bara menyebar di berbagai blok, seperti Blok Cepak Pasar, Pamandian, Cierang, Lame Copong, hingga Desa Karangkamulyan.
“Blok Cemplung, Ciman/Kobak, dan wilayah Desa Panyaungan juga menjadi titik aktivitas. Di Bayah, aktivitas terjadi di Blok Sawidak (Petak 49) dan Blok Cisujen (Petak 48), yang termasuk wilayah KPH Bayah Selatan, Kecamatan Bayah. Kedua lokasi itu belum lama ini ditutup oleh pihak Perhutani, kecamatan, dan kepolisian,” tutur Hasan.
Hasan menambahkan, dalam patroli gabungan Perhutani BKPH Bayah, kepolisian, dan Satpol PP, ditemukan mesin diesel dan saung tambang yang dibakar sebagai bagian dari penertiban. Setelahnya, tak tampak lagi aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.
Namun, di wilayah Perhutani BKPH Cihara, aktivitas penambangan justru terus meluas. “Diduga ada oknum yang membekingi proses keluarnya batu bara dari wilayah Perhutani Cihara. Kegiatan ini berlangsung di Blok Cepak Pasar, Pamandian, Cierang, Lame Copong, hingga Desa Karangkamulyan,” kata Hasan.
Ia juga menyebut dugaan praktik pungli yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, oknum LSM, dan oknum LBH. Modusnya, mereka menempatkan koordinator pengumpul uang dari para korlap dan bos batu bara, lalu menyetorkannya kepada oknum tertentu setiap bulan.
Mengapa Rakyat Memilih Jalur llegal?
Secara hukum, sebenarnya ada jalan, sehingga rakyat tidak lagi menjadi pemerasan oleh oknum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memberikan ruang legal bagi aktivitas tambang rakyat melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa masyarakat, baik individu maupun koperasi, dapat memperoleh izin menambang secara legal di wilayah tertentu seluas maksimal 25 hektare.
Namun faktanya, proses mendapatkan IPR terlalu rumit, mahal, dan penuh birokrasi. Banyak warga tidak tahu cara mengurusnya, atau bahkan tidak memiliki akses terhadap informasi dasar. Sementara kehidupan tidak bisa menunggu surat izin. Karena itu, tambang rakyat tumbuh liar—bukan karena niat jahat, tetapi karena legalitas tak pernah benar-benar hadir dalam kehidupan mereka.
Penertiban tambang rakyat tidak bisa hanya mengandalkan tindakan represif. Menutup lubang tambang, membakar alat, atau razia besar-besaran hanya akan menciptakan ketakutan dan ketegangan sosial. Itu bukan solusi, melainkan bentuk frustrasi terhadap sistem yang gagal menjawab realitas.
Akhmad Jajuli, tokoh Lebak Selatan dan pegiat CDOB Kabupaten Cilangkahan, menyatakan, persoalan tambang batu bara illegal di wilayah Lebak Selatan sudah pernah disampaikan ke Dinas Eemergi dan Sumber Daya Meniral Provinsi Banten. Ia meminta dinas tersebut memfasilitasi para penambang untuk dikukuhkan secara legal dengan diterbitkannya Ijin Penambangan Rakyat (IPR), sehingga mempermudah pengawasan dan pembinaan. Selain itu, dengan legalnya penambangan batu bara di Lebak Selatan, bisa menambah kontribusi untuk pajak dan retribusi daerah.
Gubernur Banten, Andra Soni, memiliki peluang emas untuk melakukan reformasi sektor ini. Dengan regulasi yang berpihak pada rakyat, ia bisa membuka lembaran baru: tambang rakyat bukan lagi masalah, melainkan solusi pembangunan ekonomi. Ada lima langkah nyata dalam menata tembang rakyat. Kelima langka tersebut, pertama: Menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Pemerintah daerah, bersama Kementerian ESDM dan KLHK menetapkan zona tertentu sebagai WPR. Wilayah bekas tambang atau yang telah lama digarap masyarakat dapat diresmikan sebagai lokasi legal.
Kedua: Memberikan IPR melalui Koperasi. Pemerintah perlu mendorong pembentukan koperasi tambang lokal sebagai pemegang IPR. Koperasi mengatur anggota, serta memastikan praktik penambangan berjalan sesuai aturan.
Ketiga: Edukasi dan Pelatihan Lingkungan. Masyarakat penambang diberikan pemahaman dan pelatihan keselamatan kerja, teknik penambangan ramah lingkungan, dan reklamasi pasca tambang. Tambang rakyat harus menjadi bagian dari upaya keberlanjutan lingkungan.
Keempat: Tata Niaga Transparan dan Resmi. Hasil tambang legal harus masuk ke penerima produksi resmi, sehingga meudahkan sistem pengawasan. Langkah ini dapat menjamin kepastian harga bagi penambang serta pemasukan daerah dari pajak dan retribusi.
Kelima: Pengawasan Partisipatif. Setelah legalisasi, pengawasan dapat dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah, tokoh masyarakat, dan aparat desa. Teknologi digital bisa digunakan untuk transparansi dan pelaporan real-time.
Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banten mengelola kawasan hutan seluas 79.483,45 hektar yang terbagi di beberapa wilayah administratif di Provinsi Banten. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Tangerang.
Khusus untuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Panggarangan dan Bayah, yang merupakan bagian dari KPH Banten, luasannya adalah 36.952,5 hektar. KPH Panggarangan: terdiri dari Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Rangkasbitung, BKPH Gunung Kencana, dan BKPH Malimping dengan total luas 31.218,73 hektar, dan KPH Bayah: terdiri dari BKPH Bayah dengan luas 5.733,77 hektar.—(***)
*). Penulis, pengurus paguyuban pasundan banten, tinggal di malingping, lebak selatan