Mengantisipasi Lost Generation Akibat Pandemi Covid-19
Oleh, Dian Martiani
KEMAJUAN teknologi membuat komunikasi manusia menjadi lebih lancar, meski terpisah jarak dan waktu. Mereka yang sudah lama tidak berjumpa, dalam waktu sekejap saja bisa terjalin kembali komunikasi yang serta merta bisa kembali akrab, seperti masa dulu ketika benar-benar bertemu muka.
Kembali marak adalah terbentuknya grup-grup komunikasi dari berbagai layanan aplikasi. Grup Reunian adalah grup yang menjadi populer saat ini. Kelancaran komunikasi dengan rekan-rekan di masa lalu menjadi hangat kembali. Kehangatan itu sebenarnya bukan tanpa dasar.
Dimasa lalu keakraban antar sesama teman sekolah merupakan sebuah keniscayaan. Kegiatan interaksi sangat kaya di masa itu. Kegiatan yang terstruktur melalui program sekolah, maupun kegiatan mandiri, sebagai konsekuensi dari pertemanan yang terjalin. Hampir semua interaksi berjalan secara langsung, tatap muka.
Pengalaman saya beberapa waktu lalu, bercengkrama dengan berbagai komunitas teman lama, sangat menarik diskusinya. Keakraban tercipta karena interaksi kami sangat masif saat itu. Bertemu di banyak kegiatan yang melibatkan interaksi fisik secara langsung, offline, istilah kerennya. Kita menjadi kaya teman, kaya pengalaman, serta kaya kenangan. Sebagian besar dari teman-teman di banyak komunitas tersebut sudah menjadi “orang” di berbagai bidang.
Fenomena berbeda tertangkap dari siswa-siswa sekolah hampir dua tahun terakhir ini. Tidak banyak bertemu dan menyebabkan satu sama lain menjadi kurang saling mengenal. Kurang akrab. Tidak banyak berkesempatan melakukan kegiatan bersama. Kalaupun ada interaksi, lebih banyak di ruang maya.
Bukan hanya terhadap teman, begitu pula terhadap guru. Tidak ada ikatan hati yang tercipta dengan kuat. Hambarnya keakraban antara guru dan siswa, karena tidak terbiasa bertemu. Sebuah pepatah Jawa mengatakan “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino“, yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia artinya “Cinta tumbuh karena terbiasa”.
Terbiasa bertemu, terbiasa berinteraksi, terbiasa bersama-sama. Kalaupun mungkin semulanya cinta itu belum tumbuh, tetapi karena sering bertemu dan sering bersama-sama akhirnya cinta itu mulai tumbuh karena kebiasaan tersebut (kompasiana). Ikatan cinta ini yang kadarnya berkurang dalam proses pembelajaran saat ini, karena pembelajaran lebih banyak secara daring atau pembelajaran jarak jauh.
Dampak dari pembelajaran jarak jauh ini bukan hanya dikahawatirkan pada kurang tercapainya target pemahaman siswa sesuai tugas perkembangannya, terbentuknya ikatan hati, penanaman karakter, bahkan rasa kepemilikan Komite terhadap program sekolah, namun juga mungkin mereka tidak memiliki banyak kenangan bersama teman-teman sekolahnya. Kenangan yang banyak dimiliki angkatan-angkatan terdahulunya yang lebih sering berinteraksi. Hambarnya hubungan pertemanan dan hubungan sosial dengan gurunya juga dikarenakan merekan lebih banyak berinteraksi melalui gadget saja.
Pembelajaran Jarak Jauh(PJJ) atau dalam jaringan (Daring) pada kenyataannya menyimpan banyak catatan. Catatan ini terutama bagi mereka yang tingkat ekonominya menengah ke bawah, dan bagi mereka yang tinggal di daerah dengan sinyal internet terbatas. Catatan lain adalah tingkat pemahaman siswa yang tidak maksimal, serta kedekatan antara guru dan siswa yang terkendala ruang bertemu, mengakibatkan penanaman karakter tidak dapat berjalan optimal.
Dengan Pembelajaran Tatap Muka(PTM) saja, sulit sekali mencapai keterserapan materi pembelajaran oleh peserta didik secara maksimal, apatah lagi secara PJJ atau daring. Banyak kasus, jika ketika PTM siswa, dapat memperoleh nilai maksimal, maka ketika PJJ, tidak selalu demikian. Akhirnya mereka frustasi menerima hasil yang didapatkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin. Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebut ada lima penyebab anak putus sekolah saat pandemi Covid-19. Karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia (Kompas.com).
KPAI mencatat sejak Januari hingga Februari 2021 ada 33 anak putus sekolah karena menikah di kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Kemudian dua anak di Jakarta dan Cimahi. Alasan anak putus sekolah karena bekerja, anak menunggak iuran SPP ada 34 kasus terhitung sejak Maret 2020 hingga Februari 2021.
Data serupa dilansir oleh CNN Indonesia yang menyebutkan 938 anak di Indonesia putus sekolah akibat pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut 75 persen di antaranya tak bisa lagi melanjutkan pendidikan karena masalah biaya. Dengan banyaknya orang tua kehilangan penghasilan dan pekerjaan, dikhawatirkan angka anak tidak sekolah dapat meningkat secara signifikan setelah pandemi.
Laman Bantengate.id menyebutkan sebanyak 415 siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Lebak, Banten, memilih berhenti sekolah selama masa pandemi Covid-19. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Wawan Ruswandi mengatakan, kondisi kegiatan belajar jarak jauh tidak sepenuhnya efektif dan terlalu lama libur menjadi penyebab mereka akhirnya memilih bekerja hingga menikah. Alasan berhenti sekolah lainnya karena jenuh terlalu lama libur sekolah/belajar di rumah, pindah ke sekolah lain, memilih ke pondok pesantren,dan kemungkinan karena malas saja juga ada.
Data yang lebih membuat miris adalah berita yang dimuat Bangka Pos, Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman menyebutkan, berdasarkan data, sejak pandemi ini, siswa drop out (DO)dua ribu lebih, 450 diantaranya karena kehamilan yang tidak direncanakan.
Fenomena ini harus menjadi keprihatinan kita semua. Tidak boleh ada anak yang putus sekolah. Karena pendidikan adalah hak, kebutuhan dasar, dan harus mampu mewujudkan national and charachter building, hal ini diucapkan Puan Maharani saat meminta Menristek untuk mencari penyebab anak putus sekolah di masa pandemi pada momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional 2021 lalu.
Kita tidak menyesali adanya pandemi covid-19,namun dengan berjalannya waktu seharusnya kita banyak mengambil pelajaran dari fenomena bencana ini. Setiap kita berkewajiban mencari solusi terbaik, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sektor pendidikan ini. Kita khawatir, jika kondisi ini dibiarkan, maka kita akan kehilangan satu generasi yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini di masa yang akan datang.
Pemerintah bukan hanya sekedar membuat kebijakan sistem pendidikan, mewajibkan pembelajaran daring misalnya, namun juga harus mencari solusi dari konsekuensi dan dampak kebijakan tersebut. Pengadaan infrastruktur pembelajaran on linedi seluruh wilayah Indonesia, pemberian bantuan bagi warga kurang mampu, memberikan pelatihan bagi guru dan para orang tua, dan penyediaan produke-learning gratis bagi guru-guru Indonesia.
Namun tidak semua jenis dan proses pekerjaan bisa didigitalisasi. Proses pendidikan adalah salah satu proses yang membutuhkan sentuhan langsung yang tidak semua bisa diberikan secara daring. Jika transfer pengetahuan bisa kita lakukan dengan Jarak Jauh, tidak demikian dengan tranfer sikap/karakter. Ia butuh contoh dan keteladanan, yang dapat dilihat dari sosok gurunya. Gurunya, yang akan dia gugu dan dia tiru. Kedekatan yang akan menumbuhkan kasih sayang.
Kasih sayang yang menghasilkan kenyamanan dan kebahagiaan. Menyebabkan limbik otaknya terbuka. Otak seperti inilah yang dengan mudah akan menyerap pembelajaran. Pembelajaran yang akan membekali generasi muda kita, calon pemimpin masa depan. Kondisi otak yang tidak bisa terbangun jika pembelajaran hanya dilakukan dengan PJJ saja.
Jika kenyamanan ini tidak mereka dapatkan, bagaimana mereka “betah” belajar? Alih-alih betah, mereka malah memilih putus sekolah, menjadi kecanduan gadget, dan akhirnya tidak cinta pada kegiatan belajar.
Penyesuaian karena Pandemi adalah satu sisi, namun mempersiapan generasi unggul calon pemimpin bangsa adalah hal lain yang juga tidak kalah pentingnya.
Mari berbuat sebelum terlambat…..
*Penulis adalah Kepala Inspektorat di sebuah lembaga Pendidikan, Penulis 9 Buku