Menikmati dan Belajar Ekowisata Mangrove di Jawa Tengah
Oleh, Dian Wahyudi
Ketua Biro Diklat dan SDM KWRI Provinsi Banten
KETIKA menginjakan kaki di Kabupaten Brebes, yang terbayang sebelumnya adalah produk andalannya; telor asin atau bawang goreng. Ternyata, selain memiliki makanan yang sudah sangat populer dan digemari ini, daerah yang berada di bagian Utara Provinsi Jawa Tengah itu memiliki destinasi wisata Hutan Mangrove Pandansari Brebes yang cukup menarik.
Destinasi Wisata ini, sebenarnya menjadi lokasi ekowisata “secara tidak sengaja”. Berawal dari terjangan abrasi pada tahun 1990, warga Desa Pandansari Mashadi (46), kemudian berusaha melakukan upaya penyelamatan pantai, dengan menanam pohon mangrove, untuk mencegah hal yang sama terulang kembali.
Saat ini, hutan mangrove tersebut, sepertinya salah satu contoh sukses penghijauan pesisir pantai. Lahan seluas 200 hektar, sudah menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi 2 juta lebih pohon mangrove atau bakau di Pandansari, Brebes.
Manfaatnya, hutan Bakau, bukan hanya untuk menghadang abrasi, tapi juga efektif untuk benteng hidup, misalnya ketika terjadi tsunami. Terlebih, ekosistem pesisir pantai menjadi lebih alami.
Tak sengaja, beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dan ngobrol dengan Mashadi atau biasa dipanggil Kang Hadi ini, di Kantor DPRD Kabupaten Brebes. Ternyata, beliau terpilih pula di Pemilu 2019 yang lalu, menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Brebes dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kebetulan. Karena saya cukup penasaran, dengan Hutan Mangrove Pandansari Brebes ini yang beberapa waktu lalu – sebelum pandemi covid-19 – saya berkunjung kelokasi yang sekarang menjadi destinasi wisata di Brebes. Saya ingin mendengar langsung bagaimana cara Kang Hadi, kembali menyelamatkan hutan mangrove.
Bak sebuah pribahasa; gayung bersambut, kata berjawab, Kang Hadi malah bercerita, beberapa waktu yang lalu, selama sepekan berada di Ujung Kulon, Pandeglang, membantu menanam Mangrove di sana.
Paska tsunami, sepertinya pemerintah baru mulai sadar pentingnya “benteng hidup” menahan gempuran ombak, juga menahan abrasi “di leher” Ujung Kulon, yang jika tidak diantisipasi, mungkin beberapa tahun ke depan bisa putus, karena luasnya hanya tinggal beberapa meter persegi saja. Wah, kami urang Banten ketinggalan informasi nih. Namun, benar juga apa yang disampaikan beliau.
Destinasi wisata Hutan Mangrove Pandansari, setiap akhir pekan dikunjungi ratusan bahkan ribuan wisatawan. Pun demikian pada hari biasa seperti saat saya kesana, juga cukup ramai. Termasuk saya ingin bertanya pula bagimana pengelolaan destinasi wisata ini, saat pandemi Covid-19, seperti saat sekarang.
Saat saya kesana, untuk menuju hutan Mangrove tersebut, kita harus naik perahu, dengan gelombang cukup menantang, kadang terombang ambing ke kiri, kadang goyang ke kanan, dengan deburan ombak. Ngeri-ngeri sedap.
Tersedia berbagai fasilitas yang sangat memanjakan, inspiratif dan kekenian. Satu hal yang dapat diapresiasi dari ekowisata Mangrove ini adalah kebersihan. Menurut saya, tidak banyak destinasi wisata yang memiliki kondisi minim sampah. Padahal, jumlah pengunjung terbilang banyak. Saya juga cukup kagum terhadap penataan rumah makan dan warung jajan di sepanjang jalur tracking. Semuanya terlihat teratur dan natural dengan konsep bangunan semi permanen dari bambu. Pelayanan para pedagang dan petugas juga ramah kepada setiap pengunjung.
Di samping upaya penyelamatan wilayah “leher” Ujung Kulon yang di ceritakan Mashadi di atas, di Kabupaten Lebak mungkin tidak banyak yang bisa dijadikan tempat untuk hutan mangrove, karena gelombang pantai selatan yang keras. Tapi setidaknya perlu dicoba, seperti misalnya daerah Situ Talanca Malingping yang agak tersembunyi. Karena jelas sangat bermanfaat, bukan hanya mengantisipasi abrasi laut dan kerusakan habitat pantai, namun juga dapat dijadikan destinasi wisata, seperti hutan mangrove pantai Brebes.
Mendengarkan cerita Hadi, awalnya sempat dianggap gila. Namun kini, Mashadi dikenal sebagai pahlawan mangrove. Sosok yang gigih dalam meyakinkan masyarakat untuk merehabilitasi hutan mangrove. Hadi memang selalu terpacu untuk memulihkan ekosistem pesisir laut melalui reboisasi mangrove. menurutnya, kerusakan lingkungan parah, merupakan pemicu utama. Penebangan hutan mangrove secara masif untuk tambak udang windu, menyebabkan abrasi besar-besaran di pesisir pantura Brebes.
Antara 1980 hingga 1995, merupakan masa keemasan budidaya udang windu. Memanfaatkan momentum itu, kebanyakan masyarakat terus menggenjot produktivitas budidaya mereka. Alhasil terjadi eksploitasi besar–besaran yang tidak terkendali, dan dampaknya, ekosistem menjadi terganggu. Penggunaan pakan buatan, penggunaan genset sampai alat-alat dari pabrik. Budidaya yang tadinya memperhatikan pola keberlanjutan, kemudian pola itu tidak dijalankan lagi, serta aspek lingkungan kurang diperhatikan pula.
Pada saat itu, hampir tidak ada pohon mangrove yang tersisa, karena habis dibabat untuk memperluas kawasan tambak. Saking masifnya, budidaya udang windu menyebabkan tanggul tambak tidak bisa dijaga dengan baik, sehingga kondisinya mulai rentan. 5 tahun berselang, kondisi lingkungan sudah tidak seimbang dan mulai terasa terjadinya abrasi. Menurut Hadi, efek dari situasi tersebut, mengakibatkan luas kawasan desanya yang tadinya terluas se-Kecamatan Brebes, akhirnya menjadi berkurang.
Tahun 2000, kondisi abrasi semakin parah, sejumlah rumah warga sudah tergenang air laut. Hadi pun mulai mengajak masyarakat untuk sadar atas kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal dan lahan nafkah mereka. Saat itu, hasil budidaya udang windu pun turun drastis. Perekonomian warga yang bergantung pada budidaya udang mulai “goyang”. Sumber penghidupan mereka satu-satunya pun terancam sirna.
Hadi memulai perjuangan pada tahun 2004, tepat di saat dia memutuskan untuk pindah ke kampung halaman istrinya, yakni di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes. Saat itu perjuangan Hadi tidak langsung berjalan mulus. Masyarakat menyangsikan usahanya. Bahkan, tidak jarang warga menganggap ide Hadi mustahil. Namun, ini justru menjadi pemicu semangat. Konsep yang Hadi tekankan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengumpat kegelapan.
Menurut pengakuannya, setelah bergabung dengan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Hadi kemudian mengedukasi masyarakat terkait gambaran risiko kerusakan alam yang diakibatkan oleh abrasi, serta solusi yang dapat digunakan untuk menanggulanginya.
Proses cukup panjang yang dijalani Hadi bersama masyarakat membuahkan hasil. Mereka diganjar bantuan 4,35 juta bibit mangrove dari berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah, perusahaan swasta, hingga organisasi sosial.
Baru pada 2005, sejumlah warga menerima ajakan Hadi untuk menyelamatkan tanaman garda terdepan dari daratan pantura Brebes itu. Beruntung, masih ada segelintir orang yang mau mendengarkannya dan bersedia bergabung. Persepsi yang berkembang di masyarakat waktu itu, secara ekonomi tidak ada keuntungan menanam mangrove di tambak atau lahan. Karena memang masyarakat menilai mangrove tidak dapat menghasilkan dan juga tidak bisa dimakan. Ditambah, minimnya sarana dan prasana menjadi tantangan tersendiri bagi dia dan kelompok kecilnya. Ketiadaan bibit serta biaya sering kali memicu permasalahan. Belum lagi cemoohan dari masyarakat begitu deras diterimanya.
Hadi mengakui, minimnya pengetahuan dan pengalaman tentang mangrove, yang menyebabkan penanaman pertamanya mengalami kegagalan. Dikarenakan pada waktu itu, pihaknya menanam tanpa memperhitungankan waktu dan tidak melihat keadaan cuaca. Tahun pertama, mengalami kegagalan. Kesalahannya bibit mangrove yang ditanam berhadapan langsung dengan laut. Ditambah lagi pola tanam yang tidak sesuai teknis, tetapi malah ditanam secara acak dan sporadis.
Guru terbaik adalah pengalaman, kata dia, bibit mangrove yang ditanam habis tersapu derasnya ombak. Dari sana dia mulai memakai strategi, agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali. Kegagalan demi kegagalan dihadapinya.
Namun, tidak membuat tekadnya mengendor. Hadi malah tertantang untuk terus berjuang melestarikan lingkungan. Beberapa sumber informasi dicarinya sebagai bahan referensi dan diaplikasikan secara otodidak. Lambat laun pemahaman tentang mangrove bertambah.
Menurut Hadi, penanaman mangrove, idealnya dilakukan satu kali dalam setahun. Waktu yang tepat untuk penanaman antara bulan Oktober sampai Desember. Dia melanjutkan dalam satu tahun pihaknya mampu menanam sekitar 1 hektar dengan jumlah bibit mencapai 1000 batang.
Belajar dari kesalahan.Tahun kedua mulai menanam di kakisung (kanan–kiri sungai) dan di tengah bekas tambak yang rusak. Mulai ada peningkatan waku itu. Tantangan kembali menguji keseriusan Hadi dan rekan–rekan. Jumlah anggota yang tadinya 25 terus berkurang hingga menyisakan 11 orang.
Pasca penanaman, Hadi pun kesulitan melakukan pengecekan terhadap perkembangan mangrove. Karena ketiadaan armada, menjadi alasan terhambatnya proses tersebut. Dia mengatakan tidak ada imbalan terhadap apa yang dilakukan. Hanya kadang jika sedang ada rejeki, biasanya diadakan acara makan bersama. Sambung dia konsepnya murni dilakukan sebagai bakti terhadap alam.
Akhir tahun 2008, jerih payah Hadi dan rekan–rekan telah membuahkan hasil cukup lumayan. Setidaknya 3000 bibit mangrove sudah disebarkan di lahan yang mencapai 3 hektar. Namun, Hadi mulai berpikir untuk meneruskan perjuangan perlu adanya sosialisasi.
Langkah tersebut digagas untuk menggugah kesadaran masyarakat betapa pentingnya hutan mangrove. Terutama lanjut dia, ingin menyampaikan pesan tersebut kepada pemerintah agar mendapat dukungan. Ide awalnya ingin membuat sebuah rekaman yang bisa meyakinkan masyarakat tentang potret kondisi desa Pandansari.
Promosinya pun kian gencar dilakukan hingga ke luar daerah. Mulai mencoba mempromosikan kepada berbagai lembaga. Dan banyak yang merespon atas kerja kerasnya, salah satunya Yayasan Konservasi Kenanekaragamaan Hayati Indonesia (Kehati).
Pada tahun 2008, kata Hadi, pihaknya mendapat bantuan dana sebesar Rp75 juta sekaligus resmi menjadi mitra Kehati bersama Bumi Karsa Bidakarsa Grup dan SMA Citra Buana Jakarta. Lewat kerja sama yang terjalin dari tahun ke tahun proses rehabilitasi mangrove di pesisir Desa Pandansari mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sampai sekarang kami sudah menanam sekitar 3,3 juta pohon mangrove di 210 hektare pesisir pantai. Dan ada 35 hektar tambak yang terlindungi dari abrasi.
Dampak penanam mangrove, kata dia, sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Seiring kian lestarinya hutan mangrove, ekosistem yang dulunya rusak kini mulai tumbuh kembali. Berkat hijaunya hutan mangrove, biota laut yang hilang pun kembali dan menghuni perairan desa Pandansari.
Hadi berujar, karena ekosistem yang mulai pulih, hasil budidaya maupun melaut telah mendongkrak perekonomian masyarakat. Bagi para nelayan yang menggunakan mesin tidak lagi melaut terlalu jauh, sehingga bisa menghemat biaya operasional sedangkan bagi nelayan tradisional penghasilnya bisa mencapai 2 kali lipat.
“Pentingnya hutan mangrove sudah mulai dipahami dan dirasakan oleh masyarakat.Terbukti dengan terbitnya peraturan desa (Perdes) yang melarang penebangan pohon mangrove. Kini sudah pula terbentuk satgas jaga sebagai upaya perlindungan kawasan serta mensosialisasikan agar tidak merusak mangrove,” kata Hadi.
Menurutnya, pekerjaan di lingkungan itu adalah pekerjaan tiada tepi tiada akhir. Perlu orang–orang yang lahir dari bapak keikhlasan dan ibu ketulusan.Terkadang untuk menjaga lingkungan perlu jadi “gila”. Gila disini adalah akronim dari Gerakan Insan Lestarikan Alam.
Cita–cita Hadi, ingin mengembangkan desanya menjadi kawasan ekowisata mangrove. Ingin mengenalkan ke dunia luar bahwa Brebes punya hutan mangrove yang lestari. Akan terus bertekad merehabilitasi hutan mangrove melalui penanaman bibit mangrove. Menurutnya, banyak manfaat yang diperoleh dari penyelamatan pesisir dengan mangrove, utamanya, terjaganya wilayah pesisir dari abrasi yang selalu mengancam lahan budidaya perikanan di pantura Brebes.
Alhasil, dari lahan awal yang seluas 250 hektare, cakupan mangrove yang dia tanam meluas hingga 623 hektare atau bertambah 373 hektare. Kian banyak lahan warga yang terselamatkan. Perjuangan Mashadi pun mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah dengan penghargaan Kalpataru yang diserahkan langsung Presiden Joko Widodo pada 2015. Dia juga menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah melalui Apresiasi Gerakan Satu Milyar Pohon serta penghargaan Dompet Dhuafa Award kategori Pejuang Lingkungan.
Usahanya kini juga mulai dilirik berbagai pihak, khususnya para peneliti perguruan tinggi dari dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan penelitian, adanya mangrove membuat kondisi air tambak semakin membaik. Jumlah biota laut yang hidup di sekitar hutan mangrove meningkat.
Bahkan, kata dia, dengan adanya hutan mangrove itu juga membuat kualitas udara yang ada di sekitar lebih bersih dan sejuk. Kehadiran mangrove di pesisir Pantura Brebes itu juga ‘mengundang’ berbagai hewan, semisal burung, dan kura-kura. Hal itu jauh berbeda dengan abrasi yang menerjang daerah itu beberapa tahun lalu.
Hadi dan sejumlah tokoh masyarakat setempat juga membentuk Satuan Tugas Penjaga Segara untuk melindungi kawasan hutan mangrove. Selain itu juga menjadikan kawasan mangrove menjadi kawasan wisata. Sehingga kemudian, dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dewi Mangrove Sari. Wisatawan dapat menikmati hamparan ratusan hektare mangrove menggunakan perahu.
Berbagai penghargaan yang diterima Hadi bukan akhir dari perjuangannya. Ia ingin mengubah kehidupan masyarakat Brebes lebih baik. Perjuangannya pun masih berlanjut lantaran masih ada lahan yang belum ditanami mangrove. Setelah hutan bakau Pandansari Brebes ini kembali hijau, satwa liar pun kembali berdatangan seperti burung bangau, udang, reptil hingga ikan. Manfaat lain selain mendapatkan hasil laut yang semakin bertambah.
Sampai saat ini, destinasi wisata Pandansari, memiliki beberapa wahana diantaranya; pertama, Trekking Hutan Mangrove, merupakan wahana favorit dan menjadi andalan di Hutan Mangrove Pandansari Brebes. Termasuk saya, cukup banyak pengunjung yang puas setelah mengunjungi kawasan ini pasca melakukan trekking di hutan Mangrove. Bukan hanya memiliki suasana yang asri, pengunjung juga dimanjakan dengan fasilitas trekking yang nyaman.
Mengitari kawasan hutan mangrove di Brebes, tidak seperti di daerah wisata alam lain yang memerlukan begitu banyak usaha untuk mencapainya. Pengunjung cukup melewati jalanan kayu yang nyaman. Pengunjung akan merasakan wisata edukasi yang sesungguhnya ketika memasuki kawasan hutan. Di pinggir-pinggir jalur trekking banyak slogan dan papan-papan edukasi yang berisi informasi tentang tanaman bakau. Bukan hanya berisi informasi semata, tetapi papan slogan tersebut juga berisi ajakan untuk merawat dan mencintai lingkungan.
Kedua, Taman Burung, di kawasan ini sedang dikembangkan taman burung untuk para pengunjung. Jadi semakin betah untuk berlama-lama disini. Selain itu burung bangau habitat asli hutan bakau juga sering hinggap di sekitar hutan. Pengunjung bisa melihat dan mengabadikan spesies burung ini. Ketiga, konservasi Kepiting Soka. Hutan mangrove merupakan habitat dari berbagai jenis binatang dan salah satunya adalah kepiting. Sebagai habitat aslinya, maka dikembangkan juga wahana untuk konservasi kepiting soka di daerah ini.
Keempat, Spot Foto, Hutan Mangrove Pandansari Brebes memang utamanya menawarkan wisata alam. Mengelilingi hijaunya hutan bakau, menjadi aktivitas yang paling banyak dilakukan. Bagi pencinta swafot, salah satu tempat foto ikonik adalah jembatan pink dan Menara Pantau.
Menurut Hadi, dalam kondisi pandemi Covid-19, protokol kesehatan diterapkan dengan ketat. Ratusan wisatawan masih tetap mengunjungi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Brebes tersebut. Sejak virus corona mewabah mulai Maret lalu, memang sempat ditutup sama sekali sampai Agustus. Sesudah itu dibuka, tapi pengunjungnya sangat dibatasi.
Kalau waktu normal sebelum ada pandemi Covid-19 mengunjungnya sehari bisa 1.500 hingga 2.000 orang, terutama kalau hari-hari libur. Kalau saat-saat seperti sekarang paling banyak 500 orang. Pihaknya lebih memperketat protokol kesehatan lagi. Mulai dari naik perahu hingga masuk ke obyek wisata, pengunjung diwajibkan memakai masker. Tak hanya itu, tempat-tempat cuci tangan lengkap dengan sabun atau hand sanitizer juga tersebar di banyak titik, baik di luar maupun di dalam area obyek wisata.
Sebuah pelajaran dan perjuangan yang cukup menarik.—(***)