Menikmati Wisata Sejarah Lawang Sewu di Jawa Tengah
Oleh, Dian Wahyudi
Ketua Bidang Diklat dan SDM DPD KWRI Banten
KABUPATEN Lebak dan Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten sejak akhir Oktober sampai bulan November 2020, masih menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kali ke dua. PSBB ini diperpanjang lagi hingga 19 Desember 2020 mendatang, sesuai dengan keputusan Gubernur Provinsi Banten Nomor 443/Kep.267-Huk/2020.
Namun berbeda dengan beberapa Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah, tidak sedang PSBB. Saya ada tugas di Semarang, dan memanfaatkan untuk mengunjungi beberapa destinasi wisata; diantaranya Lawang Sewu. Lawang Sewu, merupakan wisata sejarah berupa gedung tua bekas kantor Kereta Api, namun ditata sangat Instagramable, sehingga cocok untuk anak muda (kayak saya, haha).
Mengutip Heritagekaiid, Lawang Sewu adalah gedung bersejarah milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang awalnya digunakan sebagai Kantor Pusat perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Gedung Lawang Sewu di bangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 m2. Bangunan utama di mulai pada 27 Februari 1904 dan selesai pada Juli 1907. Sedangkan bangunan tambahan dibangun sekitar tahun 1916 dan selesai tahun 1918.
Bangunannya dirancang oleh Prof. Jakob F. Klinkhamer dan B.J. Ouendag, arsitek dari Amsterdam dengan ciri dominan berupa elemen lengkung dan sederhana. Bangunan di desain menyerupai huruf L serta memiliki jumlah jendela dan pintu yang banyak sebagai sistem sirkulasi udara. Karena jumlah pintunya yang banyak maka masyarakat menamainya dengan Lawang Sewu yang berarti seribu pintu.
Selain desain bangunanya yang unik, Lawang Sewu memiliki ornamen kaca patri pabrikan Johannes Lourens Schouten. Kaca patri tersebut bercerita tentang kemakmuran dan keindahan Jawa, kekuasaan Belanda atas Semarang dan Batavia, kota maritim serta kejayaan kereta api. Ragam hias lainnya pada Lawang Sewu antara lain ornamen tembikar pada bidang lengkung di atas balkon, kubah kecil di puncak menara air yang dilapisi tembaga, dan puncak menara dengan hiasan perunggu.
Saat ini Gedung Lawang Sewu dimanfaatkan sebagai museum yang menyajikan beragam koleksi dari masa ke masa perkeretaapian di Indonesia. Koleksi yang dipamerkan antara lain: koleksi Alkmaar, mesin Edmonson, Mesin Hitung, Mesin Tik, Replika Lokomotif Uap, Surat Berharga dan lain-lain. Lawang Sewu menyajikan proses pemugaran gedung Lawang Sewu yang terdiri dari foto, video, dan material restorasi. Mendekati pintu keluar, terdapat perpustakaan berisikan buku-buku tentang kereta api.
Selain menjadi tempat wisata sejarah, Gedung Lawang Sewu juga dapat disewa untuk kegiatan Pameran, Ruang Pertemuan, Pemotretan, Shooting, Pesta Pernikahan, Festival, Bazar, Pentas Seni, Workshop, dll.
Saya juga mengunjungi Klenteng Sam poo kong, merupakan tempat bersejarah untuk mengenang Laksamana Cheng Ho yang sempat berlabuh di Utara Jawa. Tiket masukny Rp 8.000,- untuk dewasa, berbeda untuk tiket anak-anak dan rombongan, sistem sudah terkomputerisasi.
Disamping itu saya juga mengunjungi Masjid Agung Semarang. Hampir sama seperti masjid bersejarah lainnya yang ada di Pulau Jawa, Masjid Agung Semarang ini terletak di pusat kota dan berdekatan dengan gedung-gedung pemerintahan.
Mengutip traveldetikcom, Masjid Agung Semarang, menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia secara terbuka setelah Ir. Soekarno memproklamirkan Indonesia telah merdeka.
Masjid Agung Semarang Jawa Tengah termasuk Masjid termegah di Indonesia. Dibangun pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2006. Pada bagian depan masjid, terdapat enam payung hidrolik raksasa yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis. Ini merupakan adaptasi arsitek bangunan masjid Nabawi. Payung raksasa akan dibuka pada saat Sholat Jumat, Idul Fitri atau Idul Adha dengan catatan bila angin tidak melebihi 200 knot.
Masjid dapat menampung hingga 15.000 jamaah, belum termasuk halaman utama masjid yang mampu menampung sekitar 10.000 jamaah. Tidak hanya itu, Di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah juga terdapat museum dan perpustakan yang menceritakan mengenai sejarah tempat wisata Semarang.
Dilengkapi dengan beberapa fasilitas lengkap, seperti perpustakaan, auditorium, penginapan, ruang akad nikah, serta museum perkembangan islam, dan kafe di bagian menara Asmaul Husna.
Sesuai dengan namanya, menara Asmaul Husna memiliki ketinggian 99 meter. Di puncak Menara Asmaul Husna kita dapat melihat megahnya Masjid Agung Jawa Tengah dari ketinggian, selain itu kita juga bisa melihat pemandangan Kota Semarang dan pesisir laut yang indah dengan menggunakan teropong.
Banyak hal yang dapat saya peroleh dari tiga Destinasi tersebut, bukan hanya dapat memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia, disamping menambah wawasan sejarah, juga dapat berswafoto di lokasi-lokasi yang menarik.
Saya juga mampir di rest area bekas pabrik gula di Kabupaten Brebes, yang di “sulap” menjadi rest area menarik dan kekinian. Berada di area KM 260B, merupakan kreasi terbaru dari sinergi BUMN.
Sejarahnya, mengutip travelerdetikcom, dahulu eks pabrik gula itu beroperasi di tahun 1913 di bawah Belanda sebelum akhirnya harus gulung tikar di tahun 1998 akibat tingginya biaya operasional. Tak berapa lama, bangunan itu pun ditetapkan sebagai cagar budaya.
Dari yang tadinya tak terurus, sinergi BUMN pun melirik PG Banjaratma karena lokasinya yang dekat sekali dengan jalan tol. Pemugaran pun dimulai hingga saat ini walau belum beres 100%. Namun, PG Banjaratma kembali berdenyut sebagai rest area kini.
Tembok bata yang sedikit terkelupas dan menampakkan warna merah aslinya, menandakan lama perjalanannya. Masuk ke dalamnya, kesan lawas itu pun hilang lewat panorama berupa deretan booth kuliner dan UMKM yang ditata berjajar. Sisa-sisa bata merah dan besi lawas bekas alat pemrosesan gula menyatu dengan bangku dan meja kekinian, sehingga kita dibuat nyaman.
Booth yang hadir pun bervariasi, mulai dari penjaja makanan hingga minuman dengan aneka menu. Malah, ada UMKM yang menjajakan kopi serius layaknya di kafe kekinian. Menikmatinya sambil mengagumi bangunan eks pabrik gula, membuat kesan yang berbeda.
Di sisi luar, traveler bisa melihat bekas lokomotif uap jadul yang dahulu digunakan untuk mengangkut pohon tebu. Sudah tak berfungsi, kehadirannya menjadi pengingat akan masa kejayaan pabrik gula sekaligus spot foto bagi kaum milenial.
Mengagumi pemanfaatan berbagai destinasi tersebut, di Kabupaten Lebak juga terdapat berbagai gedung bersejarah yang dapat di “sulap”, untuk menjadi sebuah destinasi wisata. Di Kabupaten Lebak telah ada Gedung Museum Multatuli di alun-alun Rangkasbitung, walaupun kita hanya dapat menemui cerita sejarah dan spirit Multatuli saja melalui jejak literasi buku yang ada.
Sayangnya, gedung tempat dulu Multatuli tinggal di pugar dan yang kini tersisa hanya berupa sisi dinding atau tembok. Museum Multatuli juga tidak buka alias tidak melayani pengunjung di Sabtu dan Minggu.
Di Rangkasbitung, terdapat pula gedung bekas pabrik minyak. Mengutip bingarid, tepatnya di tahun 1918, di lokasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah pabrik pembuatan minyak kelapa yang konon produksinya terbesar se-Asia Tenggara bernama Mexolie.
Nama itu hanya singkatan, kepanjangannya adalah N. V. Maatschappij tot Exploitatie van Olie-fabriek. Pendirian pabrik ini sudah dirintis sejak tahun 1900 sejalan dengan pembangunan rel-rel kereta api Stasiun Rangkasbitung.
Di masa jayanya, Maxolie Rangkasbitung atau PT Semarang, menjadi pusat tujuan pengiriman hasil kebun kelapa di Banten. Kelapa-kelapa dari sejumlah perkebunan diantaranya dari Sawarna dan sejumlah daerah pesisir di Banten dibawa ke pabrik ini. Kelapa dibawa dalam kondisi sudah dikupas dan terpisah antara daging buah dengan batoknya. Kelapa itu kemudian dijemur di pelataran pabrik yang kini menjelma menjadi area parkir belakang sebuah mall.
Dan, terkenang pula jika setiap bulan Ramadhan tiba, sirine pabrik berbunyi sebagai penanda buka puasa. Sekira tahun 2006 atau 2007 pabrik ini berhenti beroperasi. Area pabrik yang semula ingar bingar mendadak sepi seolah tak bertuan.
Beberapa bagian bangunan mulai rusak, mesin-mesin pabrik mulai menghilang. Begitu juga dengan karyawan, satu persatu mengosongkan mess tempat tinggal mereka. Kabar yang beredar, pabrik ini bangkrut lantaran minyak kelapa terkalahkan fungsinya oleh kehadiran minyak sawit yang harganya lebih murah. Lalu sekira tahun 2009, sebagian area pabrik dibangun menjadi mall.
Kini, Mexolie seolah lenyap ditelan bumi, sampai-sampai tak banyak warga Rangkasbitung mengetahui bahwa lokasi itu dahulu menyimpan kejayaan Rangkasbitung di masa silam.
Tak kalah menarik, di Rangkasbitung terdapat pula Watertoren (bahasa Belanda) atau menara air, berlokasi di Pasir Tariti, Kelurahan Rangkasbitung Barat. Dahulu bangunan ini berfungsi sebagai penampungan dan pengaturan air untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat kota Rangkasbitung.
Bangunan yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah menara air ini difungsikan hingga tahun 1970-an, yang mengambil air dari gunung Pulosari. Menemukan fakta ini, hal tersebut tentunya sangat menarik.
Menara air ini berbentuk silinder namun bagian atasnya berbentuk segi delapan. Terdapat satu pintu di dinding menara air. Di atas pintu terdapat angka tahun 1931 yang diduga merupakan angka tahun pembuatan watertoren.
Letaknya yang berada di tanah yang agak tinggi, menjadikan menara air ini mampu mengalirkan air dengan memanfaatkan tekanan air sehingga tidak perlu menggunakan mesin untuk mendistribusikan air.
Mengutip kekunaanblogspotcom, pada masa Hindia Belanda, menara air ini dikelola oleh perusahaan air minum yang bernama Waterleideng bedrijf. Kala itu, menara air ini memiliki kapasitas 4 liter/detik. Setelah Jepang menduduki Rangkasbitung, perusahaan air minum yang berbau Belanda diambilalih oleh Jepang, dan diganti namanya menjadi Suido Syo.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia segera mengambil alih Perusahaan Air Minum dari kekuasaan Jepang. Kemudian berganti nama dari “Rangkasbetoeng Suido Syo” menjadi “Kantor Air Minum Rangkasbitung”.
Menurut catatan sejarah, di Rangkasbitung terdapat pula Bunker Jepang. Seperti dituturkan Ginandar Ketua Komunitas Pemerharti Cagar Budaya (Pancadaya), yang dikutip bantensharecom. Bunker berlokasi di kampung Pasir Tariti. Bunker tersebut letaknya tepat dibelakang pekarangan belakang SDN 2 Rangkasbitung barat.
Tercatat bunker jepang tersebut merupakan bangunan militer jepang yang dibuat dengan fungsi sebagai bagian dari sistem pertahanan perang dan tempat pengintaian, selain itu juga berfungsi sebagai tempat berlindung.
Bunker di bangun pada tahun 1942 pada masa pendudukan jepang dan difungsikan untuk keperluan militer. Menurut pria yang juga berprofesi sebagai edukator di museum multatuli ini, di sekitar kota Rangkasbitung terdapat empat bunker, diantaranya ; 1) Pasir Tariti (lokasinya dibelakang SDN 2 Rangkasbitung), 2) Kampung Muhara (lokasinya dekat pemukiman warga), 3) Kampung Muhara (lokasi akuratnya ditengah-tengah perpaduan sungai ciujung dan ciberang), dan 4) Disekitaran bantaran sungai ciberang.
Seiring berjalannya waktu kondisi bunker saat ini sudah jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi zaman dahulu kala, saat ini 80 persen kondisinya tidak menyerupai kondisi pada saat dibangun, contohnya ialah bunker yang berada di kampung pasir tariti, sebagian badan bangunannya terkubur oleh tanah urugan, kemudian untuk bunker di kampung muhara posisi bangunan beralih fungsi menjadi tempat sampah dengan banyak sekali coretan-coretan dibadan bangunannya, kemudian untuk bunker yang disekitar bantaran sungai posisinya sudah total terendam air sehingga tak terlihat lagi. Untuk bangunan bunker ini mungkin kita pesimis dapat direstorasi lagi.
Entahlah, betapa banyak sebenarnya pelajaran yang dapat kita petik dari catatan sejarah dan saksi bisu, berupa gedung tua peninggalan sejarah masa silam. Tinggal kita tata kembali, kita restorasi ulang yang dapat kita pugar, sehingga bukan hanya memetik arti atau makna sejarah, namun juga dapat kita olah menjadi destinasi wisata menarik dan kekinian.
Saya kira bukan hal yang mustahil, gedung-gedung itu dapat kita “sulap” menjadi lebih bermakna, sehingga menghasilkan pendapatan bagi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lebak . Semoga terwujud.—(***)