Panen Raya di Tanah Adat Kasepuhan Cisitu: Tradisi Merayakan Alam, Leluhur, dan Kehidupan

Kaum perempuan di Cisitu, Kecamatan Cibeber, bersukacita memanen padi.--(foto: hendrik/bg)

PAGI itu sang mentari pagi membiaskan sinarnya. Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Selatan Banten, tampak menyemut di antara rumpun padi. Dengan etem atau ani-ani—alat sabit kecil khas Sunda—kaum perempuan memotong tangkai padi satu per satu. Gerakannya cepat, namun penuh kehati-hatian. Bagi masyarakat adat di ujung Selatan Banten ini, setiap potong padi bukan hanya sekedar hasil tani, tapi juga bagian dari perilaku spiritual yang dilandasi rasa syukur dan cinta terhadap bumi.

Bacaan Lainnya

Hari itu, Rabu (9/4/2025) sekelompok masyarakat di pelosok ujung Selatan Banten, tengah bersukacita. Musim panen raya kembali menyapa bumi adat Kasepuhan Cisitu. Di tengah bentangan sawah yang menguning di kaki Pegunungan Halimun, masyarakat adat setempat menyambut panen padi dengan semangat, suka cita, dan tradisi yang sarat makna.

Masyarakat adat Cisitu memulai panen padi yang telah ditunggu berbulan-bulan. Tangan-tangan perempuan begitu terampil, memotong batang padi  di bawah sinar mentari sambil tersenyum. Mereka seolah sedang menulis puisi di ladang. Mereka tahu, padi yang dipanen bukan sekadar pangan, melainkan anugerah yang tak ternilai.

Dalam adat budaya Kasepuhan, panen bukan semata-mata aktivitas pertanian. Tapi sebuah peristiwa sakral, sebuah upacara alamiah yang menyatukan manusia, bumi, dan warisan leluhur. Semuanya menyatu dalam harmoni yang menawan, penuh warna dan irama tradisi.

Gendreh Irama Sukacita

Sementara itu, dari pinggiran sawah dan di halaman rumah,  sekelompok kaum perempuan lainnya tak kalah sibuk. Mereka berkumpul di depan lesung, memukul batang kayu panjang dengan irama berulang. Tradisi ini dikenal sebagai gendreh, seni musik tradisional yang hanya dimainkan  pada momen-momen tertentu, seperti panen raya atau upacara adat.

Hentakan alu dan denting lesung menjadi nyanyian gembira, merayakan keberlimpahan hasil bumi. Nada-nada gendreh menggema di antara rumah-rumah panggung dan diantara bentangan pematang sawah. Suara  itu menyatu dengan suara alam, dan menjadi pertanda bahwa panen tengah berlangsung dengan penuh sukacita.

Sementara, di antara hamparan sawah, kaum lelaki pun memikul peran penting. Setelah padi dipotong, mereka mengumpulkan dan mengikatnya dalam satuan yang disebut pocong—ikat padi yang dibungkus tali, bukan dalam makna horor, melainkan sebagai simbol penghormatan terhadap hasil tani. Mereka memanggul pocongan padi dari sawah ke lantaian untuk dikeringkan, sebelum dimasukan ke dalam lumbung melalui acara ritual. Kaum lelaki begitu cekatan, melintasi pematang dan jalan setapak dengan langkah mantap.

Bagi  kaum lelaki di Kampung Adat Cisitu, memikul padi bukanlah sebuah beban, melainkan kehormatan. Setiap ikat padi adalah hasil dari sebuah harmoni  antara manusia dan alam yang harus dijaga dengan kesungguhan hati.

Padi usai dipanen, dikeringkan dalam lantaian untuk kemudian dimasukan kedalam “leuit” atau lumbungpadi–(foto: hendrik/bg)

Warisan Leluhur

Masyarakat adat di Kasepuhan Cisitu, di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, sekitar 135 KM dari Kota Rangasbitung, dikenal dengan komitmennya menjaga nilai-nilai adat dan kearifan lokal. Di saat banyak wilayah mulai bergantung pada teknologi dan mesin pertanian modern, masyarakat Kasepuhan Cisitu tetap memilih bertani mempertahankan cara-cara tradisional diantara lembah pegunungan dalam bertani dan memanen padi.

Bagi mereka, padi bukan hanya tanaman. Ia adalah “anak” yang tumbuh dari rahim bumi, harus diperlakukan dengan penuh hormat, tidak boleh diinjak, disia-siakan, atau dipanen secara serampangan. Oleh karenanya, panen bukan akhir dari proses bertani, melainkan awal dari perayaan kehidupan. Setelah padi dikumpulkan, masyarakat menggelar ritual adat dan doa syukur kepada Sang Pencipta serta para leluhur. Doa-doa dilantunkan dalam bahasa Sunda lemes, mengalir lembut dan mengalun.

Tak ada kemewahan dalam panen ini, namun justru di sanalah letak kemegahannya. Panen menjadi momen yang mengingatkan semua orang bahwa hidup adalah tentang keterhubungan—dengan tanah, dengan leluhur, dan dengan sesama.

Memotong padi dengan cara dietem—memanen padi dengan ani-ani—telah diwariskan tanpa putus sejak Sejak tahun 1685.  Lahan  pesawahan  adat masyarakat di Cisitu seluas  2.500 hektar, denggan produksi sekitar 4,5 ton perhektar. Sebuah pencapaian luar biasa, hasil dari kesetiaan menjaga adat dan alam.

Panen Sebagai Perayaan Kehidupan

Panen padi bukan hanya akhir dari kerja panjang menanam, tetapi awal dari upacara kehidupan. Usai acara memanen, masyarakat adat menggelar ritual syukuran. Doa-doa dalam bahasa Sunda dilantunkan oleh para tetua adat, menyatu dengan aroma tanah. Tak ada kemewahan, namun justru di sanalah letak kemuliaannya. Panen menjadi penanda bahwa kehidupan masih berputar, bahwa keterhubungan manusia dengan bumi belum tercerabut. Bahwa dalam setiap butir padi, tersimpan sejarah, doa, dan masa depan.

Abah Yoyo Yohenda, Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu, meminta kepada Pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten, untuk bisa membangun irigasi untuk mendukung produktivitas lahan dan tetap terwujudnya ketahanan pangan. Tiga irigasi yang dibutuhkan—Lebak Randu, Pasir Katimus, dan Pematang Kolecer—diyakini bisa  mengairi 1.500 hektar sawah dan membuka potensi ratusan hektar lahan produktif.  Air itu tak hanya untuk mengairi pesawahan, tapi juga untuk kehidupan masyarakat. Sumber airnya cukup banyak, yang bersumber dari pegunungan. “Hutan hejo, rakyat kudu ngejo,” ujarnya—sebuah filosofi hidup yang menyiratkan bahwa kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat tidak bisa dipisahkan.

Tradisi panen di Kasepuhan Cisitu adalah cermin: bahwa pangan bukan hanya soal perut, tetapi juga soal jati diri. Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu, agaknya, mengajarkan,  bahwa teknologi tak selalu menggantikan kearifan, dan tradisi bukan sesuatu yang tertinggal—melainkan sesuatu yang menyelamatkan.

Dalam konteks budaya dan pariwisata, setiap etem yang menari saat memotong padi, setiap denting gendreh yang bergema, dan setiap pocong padi yang dipikul dengan bangga,  lebih dari sekadar panen. Tradisi panen di masyarakat adat Kasepuhan Cisitu memiliki potensi besar untuk dikenalkan lebih luas. Tradisi ini bukan hanya menarik dari sisi estetika, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis tentang keberlanjutan, harmoni dengan alam, serta penghormatan terhadap siklus hidup.

Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak, telah menjadikan akhir dari panen padi yaitu Upacara Adat Seren Tahun,  menjadi bagian dari agenda tahunan  pariwisata. Acara adat Seren Tahun Cisungsang, Kecamatan Cibeber, sudah menjadi agenda Kharisma Event Nusantara (KEN), yang didukung penuh oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebagai salah satu platform unggulan budaya Indonesia. –(dimas/ridwan)

Pos terkait