Oleh, H. Edy Murpik
ANIMO sebagian masyarakat Kabupaten Lebak dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak 2024, untuk memilih bupati dan wakil bupati Lebak periode 2024-2029, agaknya, semakin kurang bergairah. Bahkan bersikap apatis. “Los teuing sasaha geh nu jadi bupati, kami mah ja tetap kieu bae (biarin, siapapun yang jadi bupati, toh kami tetap begini)”. Obrolan “warung kopi” seperti itu, sering terdengar dalam sebulan terakhir ini.
Kecenderungan kurang antusiasnya sebagian masyarakat Lebak pada perhelatan Pilkada Bupati Lebak dan Wakil Bupati Lebak periode 2024-2029, karena berpotensi diwarnai oleh fenomena calon tunggal melawan kotak kosong. Fenomena ini, jika terjadi, bukanlah hal yang asing di kancah politik lokal Indonesia. Namun, situasi ini memicu berbagai analisis mengenai penyebab, dampak, dan solusi yang diperlukan untuk mengatasi tantangan dalam proses demokrasi ini.
Sebelumnya, dinamika politik terutama di “jantung” kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, menjelang Pilkada sempat “berdetak” kencang. Para Bacalonbup dari berbagai latar belakang profesi bermunculan dan ramai-ramai mendaftarkan diri melalui jalur partai politik. Ada sekitar sepuluh orang yang daftar. Namun, kini para Bacalonbup, gairahnya nyaris kurang terdengar lagi.
Fenomena ini menunjukkan karena kecenderungan sejumlah partai besar merapat ke satu calon tertentu. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa Pilkada Lebak 2024 akan menghadirkan skenario calon tunggal. Jika ini terjadi, maka bisa jadi dianggap sebagai indikasi dari kegagalan partai-partai politik dalam menghadirkan alternatif pemimpin yang kompeten.
Partai politik, idealnya, mengedepankan ideologi dan pendidikan politik dalam proses pencalonan. Jika partai-partai fokus pada nilai-nilai ideologis, mereka akan berupaya membentuk koalisi yang kuat dan kompetitif, terlepas dari potensi kemenangan atau kekalahan. Hal ini penting untuk memberikan pilihan yang beragam bagi pemilih dan menjaga demokrasi tetap hidup.
Persyaratan untuk maju sebagai calon dalam pilkada memang cukup berat. Salah satu syaratnya adalah dukungan 20 persen dari total kursi parlemen atau minimal 10 kursi. Jumlah kursi di DPRD Lebak sebanyak 50 kursi/anggota.
Perolehan kursi di DPRD Lebak berdasarkan Pemilu 2024, terdiri dari; PKB 7 kursi, Partai Gerindra 6 kursi, PDIP 7 kursi, Partai Golkar 6 kursi, Partai NasDem 7 kursi, PKS 5 kursi, Partai Demokrat 6 kursi, Partai Perindo 1 kursi, dan PPP 5 kursi.
Pengamatan menunjukan, sejumlah partai politik besar, nampak mengarah kepada calon tertentu. Sementara, terdapat dua atau tiga partai politik yang perolehan suara di parlemen rendah dan akan berkoalisi untuk memenuhi persyaratan (10 kursi) nampaknya gamang. Bahkan, kader salah satu partai yang tadinya berkoar “nyaring” dalam dua pekan terakhir ini nampak mulai tak bersuara lagi.
Sementara jika mencalonkan melalui jalur calon independen harus juga mendapatkan dukungan 6,5 persen dari jumlah pemilih di Kabupaten Lebak, yang setara dengan sekitar 68.120 dukungan KTP. Persyaratan ini seringkali menjadi penghalang bagi munculnya lebih dari satu calon.
Jumlah penduduk Kabupaten Lebak sebanyak 1. 433 698 orang (data BPS). Sementara, jumlah Daftar Pemilih Tetap (data Pemilu 2024) sebanyak 1.048.643 orang, terdiri dari 537.915 orang laki-laki dan 510.728 orang (perempuan). Para pemilih tersebut tersebar di 340 desa, 5 kelurahan dalam 28 kecamatan.
Beratnya persyaratan untuk menjadi calon — apalagi yang di ukur “isi tas”- menjadi salah satu pesoalan di banyak daerah, termasuk Lebak, sehingga berpotensi menghadirkan calon tunggal yang kuat dari sisi finansial. Jika hal ini terjadi, partai politik dianggap gagal dalam mencetak kader calon pemimpin yang kompeten, dan demokrasi yang sehat hanya akan menjadi sebuah ilusi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Dari sejumlah faktor tersebut diantaranya; dominasi kekuatan partai besar. Partai besar sering kali mendominasi proses politik lokal. Mereka memiliki sumber daya dan jaringan yang luas untuk menggalang dukungan, sehingga menyulitkan partai kecil atau calon independen untuk bersaing.
Kemudian, persyaratan administrasi yang ketat menjadi penghalang besar bagi calon-calon potensial. Hal ini membuat banyak calon mundur sebelum bertarung. Selain itu, adanya koalisi partai besar yang merapat ke salah satu calon sering kali menjadi strategi untuk mengamankan kemenangan tanpa persaingan berarti. Hal ini mengurangi dinamika kompetitif dalam pilkada.
Persoalan lain adalah, minimnya kaderisasi. Pengatamatan, parpol belum seluruhnya secara intens melaksanakan kaderisasi. Ramainya orang atau sebutan sebagai kader parpol, setiap lima tahun sekali, menjelang pesta demokrasi Pemilu. Oleh karena kurangnya kaderisasi di tubuh partai politik menyebabkan sedikitnya jumlah calon potensial yang mampu tampil dalam pilkada. Partai lebih memilih mengusung figur populer yang dianggap memiliki peluang menang lebih besar.
Munculnya calon tunggal memiliki dampak kurang baik terhadap proses demokrasi, karena kehilangan alternatif yang berpotensi mengurangi semangat partisipasi dalam pemilu. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih.
Suka atau tidak suka, perhelatan Pilkada dengan calon tunggal menciptakan ilusi demokrasi, di mana pemilih seolah-olah diberi pilihan, padahal sebenarnya tidak ada persaingan nyata. Calon tunggal cenderung memiliki tingkat akuntabilitas yang rendah karena tidak ada kompetitor yang mengawasi dan menantang kebijakan serta program yang ditawarkan.
Untuk mengatasi fenomena calon tunggal, diperlukan beberapa langkah strategis, yaitu; mereformasi undang-undang Pilkada, untuk mempermudah proses pencalonan dan meningkatkan partisipasi publik, dengan cara mengurangi persyaratan administrasi yang lebih mudah.
Kemudian, terpenting adalah partai politik harus lebih aktif dalam pendidikan politik dan kaderisasi. Ini penting untuk mencetak kader pemimpin yang kompeten dan siap bertarung dalam pilkada. Partai kecil perlu diberdayakan dan diberi dukungan agar mampu mandiri, dan berikan ruang yang lebih besar bagi calon-calon independen untuk maju dalam pilkada.–(***)