Oleh, Ocit Abdurrosyid Siddiq
SENGAJA saya beri judul demikian, karena saya cukup intens dalam mengawal perencanaan serta perumusan konsep Program Sekolah Gratis (PSG) yang dicanangkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra Soni dan Dimyati Natakusumah.
PSG merupakan program unggulan yang digadang-gadang oleh Andra-Dimyati ketika pasangan ini maju sebagai calon kepala daerah di Provinsi Banten pada Pilkada Serentak 2024 yang lalu. Pasangan ini meraih suara terbanyak mengalahkan rivalnya, Airin Rachmy Diani-Ade Sumardi.
PSG bersama janji “tidak korupsi” merupakan jargon utama yang ampuh dalam menggaet hati para pemilih sehingga pasangan ini menjadi yang terpilih. Pascapelantikan, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih punya tanggung-jawab untuk memenuhi janji politiknya.
Sejatinya, sejak masa kampanye saya sudah mempertanyakan perihal PSG ini akan menggunakan skema seperti apa. Namun waktu itu banyak orang terutama tim relawan menyarankan, pokoknya menangkan saja dulu. Perkara bagaimana teknis PSG bisa diatur belakangan.
Termasuk tuduhan dari segelintir orang yang menyoal langkah saya seperti “bikin ribut sebelum terwujud”. Dicap sebagai membuat “haliwu” sebelum barangnya ada. Tuduhan yang kini memaksanya untuk menelan kembali ludah yang terlanjur membuncah.
Bila sejak dini saya menyoal perihal skema PSG yang akan diterapkan, merupakan wujud kekhawatiran apabila jargon ini hanya seksi sebagai janji kampanye namun akan menghadapi masalah yang tidak ringan pada saat implementasinya. Kekhawatiran itu kini terbukti.
Sebagai orang yang memiliki hubungan langsung dengan bidang pendidikan, sebagai praktisi pendidikan saya sudah menyampaikan beberapa saran, masukan, rekomendasi, bagi Pemerintah Provinsi Banten dalam merumuskan PSG dalam bentuk regulasi berupa Peraturan Gubernur atau Pergub.
Pergub tentang PSG akan menjadi alas dan dasar hukum bagi absahnya bantuan dana dari Pemprov Banten ini terhadap sekolah, khususnya sekolah lanjutan tingkat atas yang berstatus swasta di seluruh wilayah hukum Provinsi Banten.
Sebagai Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta atau AKSes Provinsi Banten, saya sudah melakukan diskusi dan curah pemikiran bersama dengan kepala SMA swasta lainnya, yang kemudian sudah kami terbitkan dalam bentuk artikel yang dimuat di portal media online, hingga 3 kali dengan tema yang berbeda.
Selain itu, saya juga sudah menyampaikan masukan secara langsung kepada Wakil Gubernur Dimyati Natakusumah dalam kesempatan kunjungan beliau pada suatu acara yang digelar oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Serang beberapa waktu lalu, yang khusus membincang tentang PSG di Banten.
Pada kesempatan lain ketika tim perumus Pergub PSG menggelar FGD untuk merumuskan draft Pergub, saya hadir sebagai satu-satunya wakil dari unsur sekolah swasta. Sementara peserta lainnya berasal dari unsur pemerintah, seperti Asda, Kadindik, Biro Hukum, Inpektorat, serta seluruh Kepala KCD dari 8 kabupaten dan kota se Provinsi Banten.
Baik dalam bentuk tulisan di portal media online, maupun penyampaian lisan kepada Wakil Gubernur, serta FGD yang saya ikuti, saya menyuarakan beberapa hal sebagai representasi dari aspirasi kami, para kepala sekolah swasta serta pengurus yayasan pendidikan yang mengelola sekolah.
Beberapa saran, masukan, dan rekomendasi itu adalah pertama, terminologi “gratis” ini sebaiknya diganti atau diubah. Karena ia hanya seksi sebagai jargon kampanye, namun bisa menjadi bumerang bagi pengelola yayasan yang menyelenggarakan pendidikan swasta.
Kedua, kami berharap agar PSG ini merupakan program baru sebagai wujud pemenuhan janji politik Gubernur Banten. Karena baru, maka kami berharap PSG ini tidak mengubah, menggeser, mengurangi, mereduksi, atau meniadakan program lama yang sudah ada. Program yang sudah lama itu seperti BOS dari APBN dan BOSDA dari APBD Provinsi Banten. Dengan adanya PSG, kami berharap BOS dan BOSDA tetap ada.
Ketiga, jangan mengulangi kebijakan lama yang seolah program baru namun meniadakan program yang sudah berjalan. Misalnya ketika digulirkan BOSDA untuk pertama kali, perhitungannya adalah Rp 500.000/siswa/tahun. Tahun berikutnya Pemerintah Provinsi Banten menggulirkan program insentif untuk guru honorer/swasta dengan sebesar Rp 500.000/guru/bulan. Ternyata program insentif berdampak terhadap besaran BOSDA menjadi setengahnya.
Keempat, kami berharap agar PSG di tahun pertama ini mengcover seluruh peserta didik, mulai Kelas X, XI, dan XII. Dengan begitu, kami bisa total mendukung PSG tanpa menerapkan partisipasi iuran dari wali murid. Total dimaksud bisa dilakukan oleh kami yang menerapkan iuran bulanan rutin yang besarannya di bawah nominal PSG. Sementara sekolah dengan iuran bulanan di atas nominal PSG, masih dan boleh menerapkan partisipasi dari wali murid. Apalagi satuan pendidikan dengan system boarding school atau berasrama.
Kelima, dana PSG menjadi pengganti SPP. Bukan pengganti dana pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, bila besarannya sama dengan besaran SPP pada suatu sekolah, dan atau jumlah SPP lebih kecil daripada dana PSG, maka sekolah tersebut dapat membebaskan murid dari iuran SPP. Sementara sekolah yang jumlah SPP nya di atas nominal PSG, maka sekolah tersebut masih dan boleh menarik iuran.
Oleh karena itu, kami berharap, sebelum Pergub PSG disahkan oleh Gubernur, sebelum PSG dilaunching yang direncanakan akan digelar pada 2 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, berlokasi di Plaza Aspirasi KP3B Serang, kami berharap agar digelar kembali FGD untuk penyempurnaan draft Pergub PSG, sekaligus mengakomodir saran, masukan, dan rekomendasi dari kami yang adalah ujung tombak PSG di satuan pendidikan.
Penting kiranya bagi kita untuk duduk bersama kembali membahas draft Pergub, agar PSG ini dapat berjalan dengan baik, bisa diterima oleh semua, bukan semata hanya menjadi pemenuhan janji politik yang terasa populis, tapi juga secara substantif betul-betul terasa manfaatnya oleh masyarakat banyak.
Sekedar untuk diketahui, dari hasil pengumpulan data perihal kesiapan atau ketidak-siapan sekolah dalam menerima atau tidak menerima PSG ini, sudah ada beberapa sekolah yang telah menyatakan tidak akan serta dalam PSG ini. Alasannya, jumlah dana PSG masih jauh di bawah nominal iuran dari wali murid. Sementara di sisi lain, akan ada ketentuan bahwa sekolah penerima PSG dilarang memungut iuran dari wali murid.
Saya khawatir, manakala Pergub PSG sudah disahkan dan disosialisasikan, akan bertambah banyak sekolah yang menentukan sikap serupa. Lalu, apakah dengan begitu bagi Pemrov Banten menjadi kamayangan?. Pastinya tidak. Karena bila semakin banyak sekolah yang tidak turut serta dalam PSG, alih-alih membuat beban pendanaan Pemerintah Provinsi Banten tidak terlalu besar, malah bisa menuai penilaian lain; bahwa PSG di Banten gagal
PSG sebagai program unggulan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, memiliki niat baik, untuk membantu masyarakat agar dapat menyekolahkan anak-anak mereka dengan biaya yang terjangkau, yang mesti diterjemahkan oleh “para pembantunya” dengan tepat dan benar lewat regulasi. Karena Andra Soni dan Dimyati belum “turun gunung” turut menggodok perkara teknis ini, jangan-jangan ketika draft sudah diteken, mereka bergumam, “bukan seperti ini yang kami mau”.–(****)
*). Penulis, Sekretaris Asosiasi Kepala SMA Swasta Provinsi Banten, Sekretaris II MKKS SMA Kabupaten Tangerang