Kesaksian Tan Malaka tentang Romusha di Bayah dan Relevansinya terhadap Pembentukan DOB Kabupaten Cilangkahan

Oleh, H Edy Murpik

Ketua DPD KWRI Provinsi Banten

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusioner yang perannya tak bisa diabaikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemikirannya yang mendalam tentang kebebasan dan keadilan sosial tertuang dalam bukunya yang terkenal, Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika.

Bacaan Lainnya

Di dalam buku tersebut, Tan Malaka menggagas tentang pentingnya pola pikir yang rasional, ilmiah, dan kritis dalam membangun bangsa. Salah satu fase penting dalam hidup Tan Malaka terjadi ketika dalam “pelariannya” ke Bayah, Banten, pada masa pendudukan Jepang, di mana ia menyaksikan langsung kebrutalan sistem kerja paksa atau romusha.

Romusha di Bayah merupakan salah satu tragedi besar yang dialami bangsa Indonesia di bawah kekuasaan militer Jepang. Ribuan rakyat Indonesia, sebagian besar dari kalangan buruh dan petani, dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat buruk. Mereka bekerja di tambang batu bara di Bayah, Lebak Selatan, Banten.

Para romusha tidak hanya bekerja tanpa upah yang layak, tetapi juga tanpa perlindungan keselamatan atau kesehatan. Banyak yang meninggal karena kelaparan, penyakit, dan kelelahan.

Refleksi tulisan ini,  saya buat berawal dari diskusi ringan dengan Dodi Irawan, pejabat di Pemerintah Kabupaten Lebak, ketika ribuan masyarakat, kaum sarungan, pemuda dan  aktivis Lebak melakukan aksi demo menduduki istana negara dan DPRI RI pada Rabu 31 Juli 2024 lalu. Perwakilan masyarakat dari 10 kecamatan ini  menuntut RUU DOB Kabupaten Cilangkahan tahun 2014 disyahkan menjadi Undang-Undang DOB Kabupaten Cilangkahan.

Dalam diskusi membahas dinamika perjuangan DOB Cilangkahan, Dodi menggiring saya untuk mereflekasi buku Madilog yang di tulis Tan Malaka  dan pernah tinggal di Bayah semasa Romusha (kerja paksa) jaman penjajahan Jepang. Buku Madilog yang ditulis pada tahun 1942 itu, kini banyak di perbincangkan  khalayak, termasuk dengan berbagai kontrovesi sang penulisnya.

Tugu Romsuha di Bayah, sebagai saksi bisu terjadinya kekejaman dan kerja paksa pada masa penjajahan Jepang.–(foto: dimas)

Dalam konteks pembangunan daerah dan otonomi di Indonesia saat ini, pemikiran Tan Malaka masih sangat relevan. Salah satu isu yang kini tengah berkembang di wilayah Banten adalah pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Cilangkahan, yang mencakup wilayah Bayah dan sekitarnya. Isu ini mencerminkan semangat untuk membangun daerah secara mandiri dan memperkuat pelayanan publik di tingkat lokal.

Tan Malaka, melalui gagasan-gagasannya dalam Madilog, menekankan pentingnya logika dan ilmu pengetahuan dalam proses pembangunan. Ia menolak segala bentuk pola pikir yang feodal dan mistis, yang dalam pandangannya hanya akan memperlambat kemajuan bangsa. Relevansi pemikiran ini dapat dilihat dalam perjuangan masyarakat Bayah, wilayah Cilangkahan dan sekitarnya untuk memperoleh otonomi daerah.

Pembentukan DOB Kabupaten Cilangkahan bertujuan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan di wilayah yang selama ini dirasakan kurang mendapatkan perhatian.

DOB Kabupaten Cilangkahan diharapkan dapat menjadi sarana untuk memberdayakan masyarakat setempat, memperkuat ekonomi lokal, dan memastikan pemerataan pembangunan. Ini selaras dengan cita-cita Tan Malaka yang ingin melihat rakyat Indonesia terbebas dari ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Dalam pandangannya, pembangunan yang berpihak kepada rakyat haruslah dilakukan secara rasional dan berkeadilan.

Pembentukan DOB Kabupaten Cilangkahan juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah Cilangkahan, termasuk Bayah dan sekitarnya yang selama ini dikenal sebagai daerah dengan potensi tambang dan pariwisata.

Dengan terwujudnya Kabupaten Cilangkahan, daerah ini dapat mengelola sumber dayanya secara mandiri dan memastikan bahwa hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat Lebak Selatan. Semangat ini sejalan dengan pemikiran Tan Malaka yang menekankan pentingnya kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber daya mereka sendiri.

Pengalaman Tan Malaka di Bayah memberikan pelajaran penting tentang semangat perjuangan dan keadilan sosial. Meskipun hidup dalam kondisi yang sulit, ia tetap berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Ia menyaksikan sendiri bagaimana rakyat diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh kekuatan kolonial, baik itu Belanda maupun Jepang, dan ia berkomitmen untuk melawan segala bentuk penindasan.

Semangat ini relevan dalam konteks Indonesia masa kini, di mana perjuangan untuk keadilan sosial masih berlangsung. Pembentukan DOB Kabupaten Cilangkahan adalah salah satu bentuk perjuangan rakyat untuk memperoleh hak mereka dalam pembangunan yang lebih adil dan merata.

Tan Malaka juga mengajarkan bahwa perjuangan harus dilakukan secara rasional dan terorganisir. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai landasan dalam membangun bangsa. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai dengan berpijak pada logika dan ilmu pengetahuan, serta  memastikan bahwa semua rakyat merasakan manfaatnya.—

Tan Malaka memiliki nama asli  Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, lahir pada 2 Juni 1897 di Desa Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia menulis Buku Madilog di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan, selama lebih kurang delapan bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943.

Tan Malaka banyak memiliki nama samaran. Dalam berbagai literatur yang saya temukan, ada puluhan nama yang digunakan Tan Malaka, diantaranya, Elias Fuentes dan Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Shanghai) Ong Soong Lee (Hong Kong), Tan Ming Sion (Burma), Cheung Kun Tat dan Howard Law (Cina), Legas Hussein, Ramli Hussein dan Ilyas Hussein .

Untuk menyempurnakan penyamarannya, sejak melarikan diri ke Filipina (1925-1927) hingga keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, ia selalu memakai topi perkebunan.

Tan Malaka adalah seorang guru dan jurnalis yang kritis. Tan Malaka  dikenal sebagai sosok aktivis kiri Indonesia dan banyak “dikejar” oleh penguasa pada masa itu.  Tan Malaka, juga  dikenal sebagai Bapak Republik Indonesia. Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor  53 Tahun 1953, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963, Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

JEMBATAN kereta api di Sedekan, Cihara, Lebak Selatan, masih berdiri tegar sebagai saksi bisu Romusha.-( Foto: dimas)

Ketika Tan Malaka berada dalam”pelarian” ke daerah Bayah pada tahun 1940-an, dia tidak hanya menjadi saksi mata kekejaman sistem romusha, tetapi juga turut terlibat dalam pengelolaan kesejahteraan para romusha. Tan Malaka oleh penguasa Jepang diterima sebagai pekerja dan diberi tugas sebagai Ketua Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3) yang mengurus kebutuhan makanan, kesehatan, serta kondisi hidup para pekerja tambang. Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosial yang kuat, Tan Malaka mengamati secara langsung bagaimana rakyat Indonesia dipaksa bekerja dengan kejam, tanpa ada penghargaan terhadap hak-hak dasar mereka.

Para Romusha di Banten Selatan dipaksa membangun jalan kereta api  Saketi – Bayah, sejauh 89 km pada tahun 1943-1944 untuk kelancaran angkutan tambang batu bara. Jalur jalan kereta api ini dihentikan operasionalnya sekitar tahun 1960-an.  Rel kereta api dan jembatan yang di bangun Romusha, masih bisa disaksikan hingga kini di sekitar daerah Sedekan, Cihara, Panggarangan dan Saketi, Pandeglang.

Tan Malaka melihat bahwa Jepang, meskipun berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, justru memperlakukan rakyat dengan cara yang tidak manusiawi. Sistem kerja paksa ini tidak berbeda jauh dengan perbudakan yang diterapkan oleh penjajah Eropa sebelumnya. Ribuan orang dipaksa bekerja di tambang batu bara Bayah dalam kondisi yang memprihatinkan, di mana kematian menjadi hal biasa akibat kecelakaan kerja, kelaparan, dan penyakit.

Kesaksian Tan Malaka tentang romusha ini juga tercermin dalam kritiknya terhadap Soekarno, yang pada masa itu mempromosikan romusha sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Soekarno melihat romusha sebagai bentuk kontribusi rakyat Indonesia dalam mendukung Jepang demi meraih kemerdekaan. Namun, Tan Malaka tidak sependapat. Baginya, kerja paksa seperti romusha hanyalah bentuk baru dari penjajahan. Ia menilai bahwa kemerdekaan sejati tidak dapat diperoleh dengan cara mengorbankan rakyat.

Tan Malaka mengkritik keras kolaborasi antara pemimpin nasional dengan Jepang. Ia memandang bahwa bangsa Indonesia tidak boleh tunduk kepada kekuatan kolonial apa pun, termasuk Jepang, yang hanya mengeksploitasi rakyat demi keuntungan mereka. Tan Malaka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan harus dilakukan oleh rakyat sendiri, tanpa harus bekerjasama dengan penjajah.

Untuk mengenang para korban romusha yang kehilangan nyawa di Bayah, didirikanlah Tugu Peringatan Romusha sebagai pengingat akan penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Selain itu, tugu ini juga menjadi simbol penghargaan terhadap pengorbanan para pekerja paksa yang meninggal dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi.

Tugu Romusha yang berdiri di Bayah, tidak jauh dari kantor Kecamatan Bayah. Namun kondisinya sudah tidak terawat. Tugu Romusha di Bayah tidak hanya memiliki makna sejarah yang kelam dan mendalam, tetapi juga menjadi peringatan bagi generasi mendatang tentang pentingnya menghormati hak-hak buruh dan pekerja.

Tragedi romusha di Bayah mengajarkan kita bahwa pembangunan sebuah bangsa tidak boleh dilakukan dengan cara mengeksploitasi rakyat. Pengalaman ini relevan dengan perjuangan keadilan sosial yang terus berlangsung hingga saat ini.–(***)

Pos terkait