Oleh, Rasiani Amelia
Aktivis Perempuan dan Putri Kebudayaan Indonesia Provinsi Banten 2021
KASUS pelecehan seksual yang dilakukan oknum pemuda di Kecamatan Warunggunung telah memakan korban puluhan pelajar menggunakan modus kerja kelompok. Korban-korban pelecehan seksual mata dan mulutnya ditutup lakban dan di video, pelecehan dan prostitusi online ini dengan korban sejumlah pelajar SLTA dan pelaku seorang mahasiswa.
Kasus ini mencuat dan mengguncang masyarakat setelah video pelecehan yang dilakukan pelaku beredar di media sosial. Di dalam video tersebut, korban terlihat terikat pada kursi dengan mata tertutup. Aksi pelaku yang bejat semakin memperparah situasi karena videonya diduga dijual di situs-situs dewasa dan disebarkan ke grup-grup video khusus. Saat ini, korban kabarnya mencapai sekitar 70 orang (Media Newsbin.com, edisi 20 September 2024). Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Lebak dan Polres Lebak telah menerima laporan dan kini tengah dilakukan investigasi.
Kecamatan Warunggunung sendiri dahulu pernah menjadi ibu kota kabupaten Lebak, bisa dibilang saat ini Warunggunung sudah termasuk daerah yang maju karena akses menuju pusat kota sangat mudah. Tetapi, meski daerah tersebut bukan daerah pedalaman rupanya edukasi seksual belum terliterasikan baik oleh pemerintah, LSM maupun aktivis sosial itu sendiri.
Hingga saat ini pelecehan dan kekerasan marak terjadi dari bentuk verbal maupun nonverbal, dari lingkungan pendidikan, daerah kota hingga Lingkukan pedalaman. Adanya tindak asusila yang terjadi di wilayah Warunggunung tersebut membuktikan bahwa pemerintah Kabupaten Lebak, Banten, belum serius dalam urusan pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual. Masalah ini seharusnya jauh-jauh hari menjadi perhatian pemerintah kabupaten Lebak, pelecehan seksual bukanlah masalah privasi, tetapi ini adalah masalah bersama, artinya masyarakat dari segala lini perlu sama-sama berjuang bekerja sama dalam menghadapi pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual.
Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini mula-mula akibat dari lingkungan keluarga sebagai pendidikan yang paling awal masih ada yang menganggap tabu pendidikan seksual pada anak, sehingga anak tumbuh menjadi kurang respek dan menganggap sepele mengakibatkan kurangnya rasa berharga atas tubuhnya yang akhirnya memandang tubuh orang lain pun tidak dengan rasa hormat. Dan yang terpenting adalah peran orang tua untuk mendidik anak-anak dengan pemahaman agama.
Dalam pola asuh di lingkungan pendidikan formal juga belum ideal bahkan terbilang pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual ini jarang sekali digaungkan oleh lembaga sekolah dengan serius baik negeri maupun swasta, entah karena terkekang oleh kurikulum atau lembaga sekolah yang kurang peduli.
Selama ini sekolah hanya fokus pada pelajaran yang terpaku dalam buku paket atau LKS, padahal yang paling penting dalam pendidikan sekolah dari SD-SMA adalah karakter, yaitu menciptakan anak pelajar memiliki rasa hormat pada tubuhnya dan tubuh orang lain, memiliki batasan-batasan wilayah tubuh orang lain dan batasan orang lain untuk menyentuh tubuh.–(***)