Pembangunan SWRO di Lebak Selatan: Solusi Tuntaskan Krisis Air Bersih

Bacaan Lainnya

Oleh, Dimas Permana

Wartawan Bantengate.id

Krisis air bersih yang melanda wilayah Cilangkahan, Banten Selatan,  menjadi ironi di tengah kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Lebak Selatan. Desa-desa yang namanya diawali dengan kata “Ci”, yang berarti air, seperti Cilangkahan, Cisarap, Cikeusik, Cihara, dan lainnya, justru terjebak dalam krisis air bersih.

Meski dikelilingi oleh sungai dan samudera, ribuan penduduk di daerah ini, terutama di musim kemarau  harus mengharapkan budi baik orang lain dan berjuang untuk mendapatkan air yang layak dikonsumsi. Krisis air bersih telah menjadi masalah berkepanjangan di sebagian wilayah eks Kewedanaan Cilangkahan. Setiap tahunnya, warga semakin terdesak oleh kekeringan yang diperparah oleh intrusi air laut.

Solusi yang harus dilaksanakan adalah membangun penyulingan air dengan sistem Sea Water Reverse Osmosis (SWRO), yaitu sistem yang memisahkan kandungan garam (asin) yang terkandung untuk didapatkan air tawar.

Di Desa Muara Binuangeun, melintas kali Cibinuangeun, kondisinya lebih menyedihkan lagi. Warga di desa  ini hanya dapat menikmati air bersih selama empat bulan dalam setahun. Sisanya, mereka harus menerima kenyataan bahwa air yang mereka gunakan telah terintrusi oleh air asin dari laut. Di kawasan ini, kemarau panjang menambah beban hidup warga yang telah bertahun-tahun menghadapi masalah serupa tanpa ada solusi yang permanen.

Hutan-hutan di daerah sekitar Muara Binuangeun,  juga telah rusak akibat penambangan pasir ilegal. Sementara di Cihara, hutan sudah rusak akibat penambangan batu bara tanpa ijin. Begitupun Sungai Cimadur yang melintasi desa-desa di wilayah Kecamatan Bayah, yang dulunya menjadi sumber kehidupan, kini berubah keruh karena limbah dari aktivitas penambangan pasir.

Desa Muara Binuangeun, yang dilintasi oleh kali Cibinuangeun, menghadapi kenyataan pahit. Air bersih hanya tersedia selama empat bulan dalam setahun, selebihnya, air yang tersedia telah tercampur dengan air asin dari laut. Kondisi yang sudah berlangsung  sejak lama ini, belum ada solusi yang permanen. Masyarakat  setiap musim kemarau terpaksa bergantung pada bantuan air bersih dari warga luar yang peduli.

Krisis air bersih di sebagian wilayah Cilangkahan, mendorong berbagai aksi sosial dari komunitas dan organisasi seperti Dewan Pimpinan Daerah Komite Wartawan Reformasi Indonesia (DPD-KWRI) Banten, Aliansi Lebak Selatan (ALS), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Banten, BPBD Lebak, RSUD Malingping, serta beberapa relawan lainnya, melakukan aksi distribusi air bersih.

Aksi peduli air bersih dipimpin rakan wartawan Sandy Lazarus, Uzek Suryana dan Agus Rusmana dari Ormas Aliansi Lebak Seatan (ALS). Tim ini mendistribusikan air bersih ke desa-desa terdampak dengan menggunakan kendaraan tangki pengangkut air.

Distribusi air bersih dilaksanakan pada di Kampung Karang Kencana, Desa Muara,  Kecamatan Wanasalam, dan Desa Sumberwaras, Kecamatan Malingping, Kamis, 26 September 2024. Sebelumnya dilaksanakan di Desa Cihara, Kecamatan Cihara, dan Desa sumberwaras, Kecamatan Malingping.

Kemudian, beberapa hari lalu kembali mendistribusukan ke wilayah Muara Binuangeun. Distribusi kali ini kerjasama dengan RSUD Malingping. Lalu, pada hari Sabtu (5/10/2024), BPBD Lebak mendistribusikan air bersih ke Desa Muarabiuangeun.

Namun, bantuan air melalui mobil tangki hanya menjadi solusi sementara. Air bersih habis, warga pun meminta bantuan  kembali. Pertanyaannya, sampai kapan krisis ini akan berlangsung ? Sampai kapan solusi sementara akan terus diandalkan?

Ketua KWRI Banten, H. Edy Murpik, saat memimpin distribusi  air bersih di Muara Binuangeun Kamis (26/9/2024), dihadapan warga mengusulkan pembangunan fasilitas penyulingan dengan menggunakan teknologi Sea Water Reverse Osmosis (SWRO). Teknologi ini merupakan inovasi yang memungkinkan air asin (air laut) diubah menjadi air tawar yang aman dikonsumsi.

SWRO bekerja dengan memanfaatkan tekanan tinggi untuk memaksa air laut melewati membran semipermeabel, yang menyaring partikel-partikel padat, garam, dan mineral lain. Hasilnya, air tawar yang bersih dan layak digunakan. Dengan teknologi ini, air bersih bisa dihasilkan secara berkelanjutan tanpa harus bergantung pada bantuan dari luar wilayah.

KWRI Banten dan Ormas ALS, relawan saat distribusi air bersh di Karang Kencana, Muarabinuangeun.–(Foto: BG)

Membangun SWRO untuk Komunitas Lokal

Membangun SWRO adalah sebuah keniscayaan. Dengan kapasitas 3.000 liter per hari, teknologi SWRO bisa menyediakan cukup air bagi sekitar 400 kepala keluarga di wilayah pesisir seperti Muara Binuangeun. Setiap keluarga diperkirakan akan mendapatkan pasokan air yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari minum, memasak, mandi hingga mencuci.

Pemasangan sistem SWRO ini memerlukan biaya cukup besar, namun dengan gotong royong dan dukungan dari pemerintah serta lembaga masyarakat, proyek ini bisa menjadi solusi jangka panjang bagi warga yang selama ini kesulitan mengakses air bersih.

Pemasangan sistem SWRO dengan kapasitas 3.000 liter membutuhkan biaya antara Rp 250 juta – Rp 500 juta. Di Desa Muara Binuangeun terdapat lahan milik desa dan bisa digunakan untuk lokasi pembangunan SWRO.

Biaya tersebut mencakup pembelian mesin SWRO, pompa dan sistem tekanan tinggi, membran osmosis terbalik, serta instalasi listrik dan perpipaan. Selain itu, biaya operasional dan pemeliharaan bulanan juga harus diperhitungkan, yang biasanya berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 10 juta.

Namun, manfaat yang diberikan oleh SWRO jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan. Dengan adanya sistem penyulingan air laut, warga tidak lagi harus mengandalkan distribusi air bersih dari luar dengan mengharapkan “belas kasih” segelintir oraang.  Selain itu, dampak lingkungan juga akan lebih baik karena sistem ini memanfaatkan air laut yang melimpah, mengurangi ketergantungan pada sumber air tanah yang semakin terancam.

Kehadiran sistem SWRO di wilayah Lebak Selatan, tidak hanya akan memberikan manfaat dari segi ketersediaan air bersih, tetapi juga berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan air bersih yang tersedia sepanjang tahun, masalah kesehatan yang sering kali diakibatkan oleh kurangnya sanitasi bisa ditekan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan warga untuk membeli air bersih dari luar dapat dikurangi, memberikan mereka lebih banyak ruang untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Dari sisi sosial ekonomi, adanya air bersih yang berkelanjutan bisa membuka peluang baru, terutama dalam sektor pertanian, peternakan, dan usaha mikro yang selama ini terganggu oleh krisis air. Wilayah pesisir seperti Muara Binuangeun, Cihara, dan desa-desa lain di Lebak Selatan bisa berkembang dengan adanya infrastruktur air yang memadai.

Meskipun biaya pembangunan fasilitas penyulingan air laut cukup tinggi, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan proyek ini. Salah satunya adalah melalui pemanfaatan dana desa, yang bisa dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan kolaborasi antara pemerintah desa, masyarakat, dan lembaga swasta, proyek SWRO ini bisa menjadi kenyataan.

Pemerintah daerah juga diharapkan bisa lebih aktif dalam mencari solusi permanen bagi krisis air bersih yang melanda wilayah pesisir. Selama ini, bantuan yang diberikan seringkali bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Pembangunan infrastruktur seperti penyulingan air laut adalah langkah nyata yang harus segera diwujudkan.

Kepala Desa Muara Binuangeun, H. Ujang Hadi, menyatakan bahwa lebih dari 4.100 kepala keluarga di desanya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Empat RT di desa tersebut mengalami kondisi terparah, di mana air tanah yang ada sudah terkontaminasi oleh air asin dan tidak lagi layak dikonsumsi.

“Kami sangat membutuhkan solusi infrastruktur air bersih yang lebih permanen. Krisis ini sudah berlangsung terlalu lama, dan kami tidak bisa terus bergantung pada bantuan air dari luar,” ujar H. Ujang.

Dengan membangun fasilitas penyulingan air, harapan baru bagi sebagian warga Cilangkahan mulai terbuka. Proyek ini bisa menjadi titik balik dalam menghadapi krisis air bersih yang selama ini menjadi momok bagi warga pesisir. Teknologi SWRO memberikan solusi yang berkelanjutan, tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan, di mana air bersih akan selalu tersedia bagi mereka yang membutuhkan. Semoga.–(***)

Pos terkait