Bijak Sana Bijak Sini

Foto Ilustrasi (sumber: dictio.id)

Bijak Sana Bijak Sini

Oleh Dian Martiani*-

SEBUAH PUISI yang dibawakan dengan penuh  penghayatan, bahkan larut dalam nuansa emosional oleh seorang sopir angkutan umum, sempat viral di media sosial. Sang sopir yang berpenampilan “nyeleneh” itu, sampai menitikkan air mata ketika membawakannya. Puisi yang ditujukan kepada para penguasa, berisi komplain terhadap kebijakan pemerintah terkait pembatasan waktu mudik bagi rakyat Indonesia.

Bacaan Lainnya

Sang sopir bercerita dalam puisinya, bahwa sejak pandemi melanda Indonesia satu tahun lalu, pendapatannya terus menurun, karena pemerintah menerapkan kebijakan di rumah saja. Ia dan teman-temannya berharap, momen mudik lebaran, dapat menggenjot pendapatannya, waktu baginya dapat sedikit panen, agar pendapatannya sedikit mencukupi untuk kebutuhan dapur dan anak istrinya.  Namun mimpi itu harus terhapus, karena lagi-lagi kebijakan pemerintah belum berpihak pada diri dan rekan-rekannya.

Video lain berisikan protes para pekerja di sebuah gerbang tol di bilangan Jakarta.  Aksi itu menghambat membuat kemacetan dan mengganggu perjalanan para pekerja yang hendak menuju tempat kerjanya untuk mencari nafkah bagi keluarganya.  Kericuhan pun tak dapat dihindari.

Cerita miris  tentang kehidupan masyarakat bawah seperti dikutip seorang sahabat di sebuah grup Penulis; “Pernah ketemu teman lama di Warkop, dia pakai seragam kerja padahal sudah tak lagi bekerja di kantornya. Pamit ke istrinya tetap berangkat kerja. Posisi istrinya lagi hamil, dia jaga perasaan istrinya supaya tetap tenang”.

Cerita lainnya; “Kayak ayahku seharian tadi muterin dagangannya dan pas beliau pulang adik ku udah nungguin  dengan yakin bahwa pasti ayah bawa uang. Padahal beliau bilang sama ibu kalau nggak dapat uang sama sekali hari ini, karena sepinya pembeli”.

Di satu sisi ramainya orang yang berada di luar rumah adalah sumber rezeki tersendiri bagi sebagain besar  orang karena profesinya menghendaki situasi seperti itu, seperti; sopir angkutan, pedagang asongan, jasa angkut barang, pengelola travel, pedagang oleh-oleh dan lain-lain.

Wajar kalau mereka menunggu moment-moment seperti mudik ini. Berkurangnya pendapatan keluarga yang berimbas pada kualitas hidup terutama kesehatan, karena kurangnya asupan gizi akibat keterbatasan ekonomi adalah sebuah  pil pahit ini harus mereka telan sendiri.

Bantuan pemerintah tidak sampai menjangkau untuk membantu  masyarakat yang terdampak secara keseluruhan dan terus menerus.  Dana pemerintah pun saat ini terbatas. Jika pun ada bantuan, sifatnya sementara. Kadang syaratnya tidak bisa dipenuhi, bahkan bantuan tidak dapat dijangkau karena bumbu romantisnya KKN oknum petugas yang diberi tanggungjawab untuk menyalurkan tidak adil.

Untuk menghindari meluasnya penyebaran virus (yang berbentuk) Corona ini, pemerintah memang melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah melarang mudik pada rentang waktu tertentu, yaitu 6-17 Mei 2021, sebuah sumber bahkan mengatakan sampai tanggal 22 Mei.

Sampai-sampai himbauan ini disampaikan secara masif oleh pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah sampai menurunkan anggaran untuk menjaga perbatasan, melakukan penyekatan agar pemudik tidak dapat lolos ke kampungnya pada jangka waktu yang telah ditentukan.

Laman Kompas.com menyebutkan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya telah menyiapkan 1.313 personel untuk menjaga 14 pos penyekatan di wilayah Jabodetabek dan 31 titik pengamanan berlapis pada masa larangan mudik lebaran tahun tahun 2021. Jumlah yang fantastis.

Belum lagi di daerah lainnya.  Pemerintah begitu serius melakukan penyekatan pemudik ini. Pemudik dianggap sebagai orang yang membahayakan sehingga sedemikian rupa dijaga ketat. Penjagaan yang terkesan lebih ketat ketimbang menjaga koruptor agar tidak lolos dalam upaya melarikan diri.

Sebuah regulasi yang menentang budaya yang sudah dilakukan berurat berakar, seperti mudik ini, memang sudah dapat diprediksi akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sebuah anggaran yang rela dikeluarkan pemerintah sebagai upaya meminimalisir peningkatan angka masyarakat yang terpapar Covid-19 ini.  Pengambilan kebijakan yang patut diacungi jempol. Namun pemerintah juga harus memikirkan kebijakan lain sebagai dampak diterapkannya kebijakan ini.

Erlangga Djumena, dalam tulisannya di laman Kompas.com mengatakan pemerintah mengakui daya beli masyarakat saat ini melemah karena pendapatannya menurun. Penurunan pendapatan ini salah satunya akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak pandemi Covid-19.  Tidak hanya karena PHK, penurunan pendapatan ini juga karena berkurangnya omzet, bahkan kehilangan peluang pendapatan karena sepinya aktifitas masyarakat di luar rumah.

Selain menerapkan kebijakan untuk menghindari bahaya yang besar, pemerintah juga harus memikirkan kebijakan pendamping sebagai akibat diambilnya kebijakan utama tersebut.  Harus ada  antisipasi agar mereka yang terdampak kebijakan utama, dapat juga mendapatkan solusi sehingga kehidupannya tidak terganggu akibat penerapan kebijakan tersebut. Hal ini dapat meminimalisir tingkat komplain rakyat terhadap kebijakan (kontroversi) yang diterapkan.

Meminjam istilah seorang sahabat, Pemerintah harus Bijak Sana dan Bijak Sini, memikirkan kebijakan bagi warganya.  Misalnya selain menerapkan penyekatan larangan mudik, pemerintah juga memberikan bantuan kepada mereka yang secara langsung terdampak. Apakah bantuan langsung (memberi ikan), atau bantuan penyediaan alternatif pekerjaan (memberi kail). Seharusnya sosialisasinya jauh sebelum diberlakukannya kebijakan ini. Ada waktu pendampingan terlebih dahulu.

Jika saja pemerintah sudah melakukan semuanya dengan matang, mulai dari perencanaan kebijakan,  sosialisasi yang masif, pendampingan bagi yang kemungkinan terdampak, dan edukasi kepada rakyat terkait pentingnya penerapan kebijakan ini, maka diyakini dapat meminimalisir tingkat komplain masyarakat.  Semua pihak tidak ada yang dirugikan.  Wallahualam bishawab.

*)Penulis adalah Praktisi Pendidikan,  Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, tinggal di Sumatera Barat.

Pos terkait