Curug Sata Di Banten dan Gemercik Suara Air Terjun Yang Menyejukan
Oleh, Dian Wahyudi
Ketua Biro Diklat & SDM DPD KWRI Provinsi Banten
JIKA anda mencari suasana alam yang masih “perawan”, indah dan menyejukan, datanglah ke Curug Sata, salah satu destinasi wisata di Provinsi Banten. Curug sata, terletak di Desa Cimayangray, Kacamatan Gunungkencana, sekitar 57 Km dari Kota Rangkasbitung.
Mungkin anda pernah nonton film Ambu yang diperankan Widyawati sebagai Ambu Misna dan Laudya Cynthia Bella sebagai Fatma. Film besutan Skytree Pictures yang bercerita latar belakang budaya suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, salah satu adegannya di ambil di lokasi Curug Sata Gunungkencana ini.
Film tersebut sukses meraih dua penghargaan sekaligus pada Festival Film Bandung. Cerita di layar lebar yang bermuatan kearifan lokal ini menghantarkan Endita Wibisono yang berperan sebagai Hapsah, meraih penghargaan pemeran pembantu wanita terbaik. Ia berhasil menyampaikan pesan kepada publik tentang keramahan, kepedulian dan jiwa sosial masyarakat Baduy yang tetap bersahaja di zaman sekarang ini.
Pagi itu, jam menunjukan pukul 6.30 WIB, saya dan rekan sudah siap berkemas melakukan persiapan, karena rencananya pukul 7.00 WIB akan piknik ke lokasi Curug Sata. Saya melakukan trip biasa, tanpa menginap, karenanya tidak banyak persiapan yang dipersiapkan.
Sebelum keberangkatan, saya sudah kontak sahabat, Ka Andi, orang kecamatan Gunung Kencana. Saya sampaikan tentang rencana mengunjungi curug Sata yang kini tengah jadi primadona destinasi wisata di Banten ini.
Ka Andi, begitu gembira menyambut dan menyampaikan kabar; “ wah jalannya sudah enak sekarang, bisa masuk mobil”, katanya. Saya dan empat rekan, menggunakan kendaraan roda empat menuju lokasi di Gunung Kencana ini.
Menuju Curug Sata, bagi yang senang berpetualang, agaknya, lebih lebih asyik menggunakan kendaraan roda dua, karena lebih terasa “tantangannya”. Namun, saya dan rekan memutuskan untuk menggunakan kendaraan roda empat saja. Sekitar satu jam perjalanan dari Kota Rangkasbitung, untuk sampai di lokasi ini.
Route yang saya tempuh adalah, jembatan Leuwikopo, lalu belok kanan. Setelah SMAN Gunung Kencana, terdapat simpangan dan ada papan penunjuk jalan; menuju Curug Sata.
Dari jalan utama Gunungkencana – Malingping, sekitar 800 meter untuk menuju lokasi Curug Sata. Jalan menuju Curug Sata, masih tanah campur bebatuan, namun kendaraan roda empat dapat masuk dan sampai lokasi.
Di sepanjang jalan menuju Curug Sata, batu-batu besar masih tampak terbenam kokoh sekitaran tebing bertanah merah. Disebalah kiri – kanan sungai, nampak bebatuan besar. Nun disana, terdengar suara merdu dari putaran “kolecer” dan cicit burung berkicau.
Saya dan rekan, menuju saung (rumah sederhana dari bilik beratap rumbia dan dan ijuk). Bangunan ini masih tampak baru selesai di bangun. Dari kejauhan nampak hamparan pemandangan bukit dan pepohonan besar. Hutan yang masih rimbun dan asri.
“Curugnya di bawah sana, sambil menunjuk ke belakang sebelah kiri saung.” Kata ka Andi. Karena sudah tidak sabar, saya dan rekan segera menujun Curug. Subhanallah, debit airnya cukup berlimpah, padahal sedang kemarau.
Air begitu bergemuruh, tertumpah ruah dan tercurah menimpa bongkahan batu – batu besar. Aliran air terjun yang tertumpah di atas bebatuan itu, seperti menimbulkan suara musik alam, musik yang merdu dan tanpa suara kepalsuan. Inilah sebuah musik drama kehidupan bersama alam yang menakjubkan.
Sungguh, saya tak bosan menatap dan memandang alam di curug sata yang begitu indah ini. Suasana alam masih “perawan” yang penuh dengan rimbun pepohonan. Bongkahan batu besar yang diterpa gemercik air terjun, nampak masih kuat. Batu -batu besar seukuran hewan gajah, ini berserakan, tak beraturan, namun indah.
Saya, meniti dan menuruni bebatuan yang berserakan itu. Lalu, saya berdiri tegak di atas bebatuan yang besar itu sambil berucap; sungguh indah ciptaan MU ya Allah. Begitu damai saya berada di atas batu. Kendati hari sudah beranjak siang, namun tetap sejuk. karena terhalang oleh pohon-pohon besar dan rumpun bambu.
Setelah dirasakan cukup menikmati pemandangan alam dan belajar dari alam Curug Sata, saya dan rekan, segera membuka bekal hidangan yang dibawa dari rumah. Api unggun di nyalakan untuk memasak air, membuat kopi tubruk cap kupu kupu. Lalu, singkong dan umbi yang dibawa Ka Andi, dikupas dan dimasukan kedalam tungku untuk di rebus. Setelah dianggap cukup masak, saya dan rekan segera menyantapnya sambil ditemani secangkir kopi. “Nikmat, Alhamdulillah. Nikmatnya, melebihi santap di hotel berbintang lima. Maknyusss”, kata Tedi, rekan saya.
Tak lama, pemilik saung, Alek datang. Alek berharap agar Curug Sata ini dapat dikembangkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak dan menjadi destinasi wisata air terjun unggulan di kancah nasional.
Curug Sata, sangat layak dan dikembangkan menjadi potensi wisata. Tempat parkir cukup luas. Tinggal di tata sedikit saja dan di bangun jalan menuju lokasi dari jalan utama. Ada bangun gajebo untuk tempat istirahat wisatawan serta tempat penjaja kuliner. Semoga menjadi impian yang segera terwujud.—(***)