Oleh : Iin Solihin
(Penulis Adalah Alumnus Magister Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Nasib Aparatur Sipil Negara (ASN) setiap menghadapi hajatan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seringkali iman politiknya digoyang, tak sedikit netralitas dan integritasnya terkontaminasi godaan politik partisan terbawa arus politik sejumlah pihak menggiring hak pilih ASN jadi lumbung dukungan politik, memilih dan memenangkan kontestan politik tertentu sesuai selera pejabat teras pucuk pimpinan dan politik kekerabatan.
Hajatan politik bagi ASN ibarat makan buah simalakama. Hak suara politik ASN langkahnya terbatas sesuai hembusan angin, menerima janji politik naik jabatan, diam risiko turun jabatan atau tak dapat jabatan, serba salah. Persis ingatan publik pada pemilu 1971 masa Orde Baru, para ASN mesti patuh, jika menolak memilih, tak mendukung partai politik dan konstestan politik tertentu diberi sanksi mutasi ke daerah terpencil, gajinya ditahan hingga diberhentikan dari pekerjaan.
Warisan politik Orde Baru yang menciptakan mesin “ketakutan dan loyalitas” ASN tampaknya terus berproduksi hingga kini, sulit dihentikan, persis seperti ilmuwan Jerman, Arthur Scherbius pada 1918 menciptakan mesin enigma yang digunakan pasukan Nazi pada perang dunia kedua sebagai mesin mengenkripsi pesan rahasia yang rumit, sukar dipahami publik, hanya sang kreator yang mampu menghentikan.
Berkaca pada catatan pemilu 2019 (20/7/23) Bawaslu Republik Indonesia menangani kasus sejumlah pelanggaran netralitas ASN sebanyak 999 dan 89 persen telah direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) agar diberi sanksi sesuai peraturan berlaku.Ketua KASN, Agus Pramusinto (31/1/23) juga tak kalah panen menangani laporan pelanggaran ASN pada Pilkada 2020 dari 270 daerah, tercatat ada 2.034 laporan dugaan ASN yang melanggar netralitas. Sebanyak 1.596 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melanggar netralitas.
Suburnya data pelanggaran ASN, pakar komunikasi politik senior, Ade Jamrud (2023) memberi usul sedikit nakal agar hak istimewa ASN yang memiliki hak suara pada pemilu dan pilkada ada baiknya dibebaskan dari hak pilihnya seperti TNI/Polri bebas dari hak politik dan netralitas-integritasnya diarahkan tetap fokus menjadi abdi negara.
Hal itu sesuai amanat UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara adalah asas netralitas. Tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada siapapun.
Menurut Ade Jamrud, daya pikat kenapa ASN dijadikan lumbung suara kontestan politik. Pertama, jumlah hak suara ASN secara kuantitas ditingkat pusat-daerah sangat signifikan menjadi lahan subur pendomplang perolehan suara. Kedua, kaum elit pimpinan ASN beserta pasukannya memiliki akses kebijakan, kewenangannya mampu memberi fasilitas kepentingan kontestan politik terutama di masa kampanye. Ketiga, memobilisasi dukungan politik ASN lebih potensil menjadi sayembara politik sektoral bagi-bagi posisi jabatan melalui kompensasi loyalitas dukung-mendukung kontestan politik.
Jebakan Politik
Obrolan politik usulan membebaskan hak politik ASN seperti TNI/Polri tampaknya belum dianggap penting dan signifikan menjadi bahasan kaum elit pemerintahan ditengah sulitnya mewujudkan amanat UU No 5 Tahun 2014; pasal 10 ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik; pelayan publik; perekat dan pemersatu bangsa.
Menjelang semakin dekat memasuki masa kampanye Pemilu 2024 untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, DPRD dan Presiden-Wakil Presiden, dan Pilkada Serentak 2024 untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota.
Kampanye Pemilu digelar selama 75 hari sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 15 tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye ditempat umum, debat pasangan calon Presiden-Wakil Presiden, kampanye di media sosial, kampanye rapat umum, iklan media cetak/elektronik dan media daring dimulai pada Selasa, 28 November hingga Sabtu, 10 Februari 2024.
Syahdan, menyambut kampanye, tak sedikit hati publik dibuat cemas, was-was alih-alih tujuan kampanye untuk menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu, malah terjadi sebaliknya menjadi jebakan politik bagi para ASN terjerat delik pasal-pasal pelanggaran netralitas ASN baik dilakukan secara sadar hingga faktor ketidaktahuan dan kekhilafannya.
Modus operandi jebakan politik bagi para ASN jika berkaca pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 seperti pelanggaran kode etik, ikut kampanye, sosialisasi melalui media sosial (memposting, memberikan komen, share, like), memasang/membagikan Alat Peraga Kampanye, berpoto dengan peserta pemilu, terlibat atau menghadiri deklarasi dukungan politik serta bentuk pelanggaran lainnya.
Suguhan ikhtiar menekan potensi pelanggaran netralitas ASN mesti semua pihak hadir ikut mengawasi, melaporkan dan mengimbau peserta pemilu, tim kampanye tak melibatkan para ASN pada kampanye sesuai UU No 7 Tahun 2017, Pasal 280 ayat (2) dan (3), (2) Pelaksana dan atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan: f. ASN; g. anggota TNI/Polri; h. kepala desa; i. perangkat desa; (3) Setiap orang dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu.
Netralitas ASN adalah miniatur komitmen bersama, dan menjadi cerminan baik dan buruknya kualitas pelayanan publik, tergantung ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat dan pemersatu bangsa mampu menjaga amanat dan kehormatannya.
Publik, tentu tak meminta banyak sekadar memberi ingat pesan lagu Rita Sugiarto, Ku tidak minta oleh-oleh, emas permata dan juga uang, tapi yang kuharap engkau pulang tetap membawa kesetiaan. Semoga!