Oleh, Dian Martiani
Pilkada 2024 secara serentak diselenggarakan di 37 provinsi di Indonesia. KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tertanggal 26 Januari 2024 telah menetapkan jadwal pelaksanaan Pilkada pada Rabu, 27 November 2024 (CNN Indonesia). Dengan demikian, Pilkada serentak 2024 tinggal hitungan hari lagi. Pilkada tidak hanya berdampak pada suasana politik saja, namun ia telah meluas dampaknya hingga ke ranah sosial.
Rakyat Indonesia telah mengalami ratusan kali PEMILU, PEMILU Legislatif, Presiden, DPD RI, maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) provinsi maupun kabupaten/kota. Tingginya frekuensi keikutsertaan dalam Pemilu ini kadang tidak diikuti dengan tingkat kedewasaan dalam berdemokrasi. Nyatanya, tingginya eskalasi politik, berdampak tidak hanya pada ruang formal kelembagaan Partai Politik peserta Pemilu, namun dampaknya lebih luas dari pada itu.
Kompetisi dan suasana memanas bahkan terasa di tingkat masyarakat secara luas. Bentrokan kepentingan, bentrokan sosial, bentrokan dan gesekan itu bahkan terasa sampai di grup-grup medsos masyarakat semisal WhatsApp. Jika hanya bentrokan gagasan dan pemikiran, mungkin bisa kita maklumi. Bahkan inilah yang kita harapkan.
Namun sayang, tidak semua bisa melakukan kompetisi secara sehat. Seharusnya, perbedaan pilihan dalam berdemokrasi, tidak harus menciderai kedekatan sosial di masyarakat yang telah dibangun bertahun-tahun. Realitanya, banyak yang hubungan sosialnya terganggu gara-gara beda pilihan. Miris Memang.
Cidera sosial akibat pilihan yang berbeda ini sering menghantui disetiap perhelatan demokrasi semisal Pilkada. Saya menyebutnya sebagai Hantu pertama. Hantu ini datang karena masyarakat tidak siap berbeda pendapat. Salah satu bentuk ketidakdewasaan dalam berpolitik.
Ada banyak hantu lainnya yang datang ketika moment ini tiba. Jika hantu pertama menghinggapi masyarakat sebagai pemilih, maka hantu kedua kadang diidap oleh peserta Pemilu atau Pilkada itu sendiri. Biasanya ini dilakukan oleh kandidat yang programnya lemah. Hantu itu bernama Black Campaign (Kampanye Hitam).
Kandidat yang miskin program biasanya mengandalkan metode kampanye seperti ini untuk menutupi kekurangannya. Alih-alih mempropagandakan programnya, ia lebih memilih melakukan Negative Campaign (Kampanye Negatif) bahkan Black Campaign (Kampanye Hitam). Perbedaan kampanye hitam dan kampanye negatif terdapat pada aspek hukumnya.
Jika kampanye negatif yang tujuannya untuk mendiskreditkan lawan dengan data yang jelas masih ditoleransi secara hukum, berbeda dengan Kampanye Hitam. Kampanye hitam dilakukan dengan tujuan menjatuhkan lawan dengan data yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, bahkan fitnah terhadap lawan. Maka hati-hati terhadap kandidat yang memiliki kebiasaan seperti ini, siap-siaplah anda terjerat hukum dimasa yang akan datang. Di era digital seperti sekarang, sangat banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti. Kita mengenalnya dengan istilah Jejak digital.
Pelaksanaan kampanye hitam dapat disanksi secara pidana berdasarkan Pasal 280 ayat 1 huruf d UU Pemilu dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Ancaman pidana yang secara khusus mengatur larangan kampanye hitam dijelaskan secara rinci dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Detik.com).
Hantu berikutnya adalah yang dilakukan oleh kandidat sekaligus disambut oleh pemilihnya. Saya menyebutnya dengan istilah Simbiosis Mutualisme negative. Dimana kedua belah pihak saling membutuhkan namun menghasilkan nilai yang negative. Money Politic (Politik Uang). Ada money politic terang terangan, ada juga yang terselubung. Namun keduanya sama, jatuhnya suap.
Dalam kondisi ekonomi masyarakat serba sulit ini, ada kandidat yang memanfaatkan situasi dengan mempraktekkan money politic. Kegiatan pesta demokrasi ini tidak dijadikan ajang untuk mengedukasi masyarakat tentang demokrasi, apatah lagi untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap negerinya. Sebagian kandidat malah memanfaatkan situasi kesulitan masyarakat sebagai peluang dalam meraih dukungan.
Semua aktifitas diiming-imingi dengan uang. Jika bersedia rumah/tempatnya dipasang spanduk, akan diberi sejumlah uang, jika siap menghadirkan masa, akan diberi sejumlah uang, semua ini kadang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh KPU. Parahnya, bahkan disinyalir ada kandidat yang berani menawarkan sejumlah uang untuk setiap suara yang akan diberikan kepadanya.
Ketahuilah, bahwa semua itu tergolong suap/risywah. Ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasulullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan rasyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi perantara dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy. Ketiga kelompok ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari Rasul SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT (PTA Samarinda). Dan semua ulama sepakat bahwa Risywah yang dimaksud, tergolong perbuatan yang diharamkan.
Money politic/risywah ini sungguh perbuatan yang sangat tidak mendidik, merusak budaya, bahkan merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri yang seharusnya berdiri diatas nilai-nilai sportifitas.
Hantu terakhir yang perlu diwaspadai dan biasanya ia akan bergentayangan sesaat sebelum proses pencoblosan adalah Hantu bernama Serangan Fajar. Akan ada Hantu berwujud manusia yang akan datang bergentayangan ke rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat lainnya dengan tujuan untuk memberikan sejumlah uang dengan imbalan mencoblos kandidat tertentu. Patut diwaspadai.
Menjelang Pilkada, mari kita jaga diri sendiri dan rumah-rumah kita agar tidak terkena godaan hantu. Membaca ayat-ayat Rukyah mungkin salah satu upayanya. Mari sayangi negeri ini dengan melakukan proses ini secara sportif. Kita yakin, pemimpin yang melakukan praktek-praktek hantu tadi adalah pemimpin yang tidak layak dipilih. Pemimpin yang buruk lahir dari pemilih yang buruk. Pilihlah pemimpin yang program dan karakternya baik.
Satu suara bersih kita, akan sangat berharga untuk menentukan masa depan negeri ini. Dan yang jauh lebih penting adalah satu suara yang kita persembahkan kelak, akan mudah dipertangungjawabkan dihadapan-Nya. Kita pemilih MERDEKA yang suaranya sangat berharga.–(***)
#SAVEPILKADASERENTAK
*) Penulis adalah Pemerhati Pilkada, tinggal di Padang, Sumatra Barat