Oleh: Jacob Ereste
Kasus Penerimaan Uang oleh seorang Rektor dari 33 calon mahasiswa yang diproses pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak hanya memalukan kalangan akademisi yang difahami sebagai kaum intelektual. Inilah realitanya, geniusitas yang tidak memberikan jaminan adanya nilai religiusitas. Sehingga kepintaran seseorang itu tiada arti apa-apa jika tidak diimbangi dengan kekuatan batiniah yang terjaga oleh nilai-nilai spiritual, sebab bobot akal pikiran itu sangat terbatas dan akan keok selama abai pada nilai-nilai spiritual yang mampu menjaga akhlak mulia manusia sebagai khalifatullah di bumi.
“Jadi, ketika etika (budaya dan agama) sudah ambruk, maka tiada lagi jaminan untuk memiliki akhlak. Karena itu seorang tokoh organisasi keagamaan sekalipun tetap rentan jika tiada mendalami nilai etika, moral, dan akhlak yang harus tetap dijaga oleh laku spiritual”.
Hikmah yang positif dari suatu bencana maupun malapetaka itu seperti tertangkapnya seorang Rektor atau Guru Besar dari sebuah perguruan tinggi negeri di negeri ini. Aib besar ini membuktikan bahwa akal pikiran yang jenius sekalipun berada di urutan belakang dari laku spiritual. Sebab daya jangkau serta wilayah jelajahnya spiritual itu jauh berada di atas daya dan kemampuan nalar. Energi spiritual itu pun mempunyai daya tangkal dan energi spiritual itu bisa dimiliki oleh siapapun. Apalagi cuma sekedar untuk seorang Rektor yang lebih dominan memiliki kemampuan bermain di wilayah administrasi dan organisasi untuk mengurus kepentingan orang banyak.
Dari sejumlah calon mahasiswa dan mungkin juga calon mahasiswi sebanyak 33 orang itu, tidak hanya lebih dari cukup untuk mendulang uang milyaran rupiah jumlahnya guna memutuskan masuk perguruan tinggi yang sudah menjadi Perseroan sekarang ini, tapi juga membuktikan betapa rusaknya cara berpikir dunia keilmuan yang telah melanggar cara nilai etika, moral, dan akhlak akademik yang sepatutnya mengedepankan sikap jujur, sportif, dan elegan untuk mengais ilmu guna menjadi bekal permanen yang kuat dengan berbasis pada etika, budaya, serta nilai spiritual agar tidak pongah dan tergelincir pada keangkuhan intelektual yang sudah semakin mengerikan pada era milenial sekarang ini.
Kebanggan semu terhadap harta kekayaan dan kemewahan pun semakin menjadi candu yang digandrungi akibat cara berpikir yang terkilir hingga beranggapan bila semua itu adalah jaminan utama satu-satunya untuk mereguk kebahagiaan. Begitulah alkisah keangkuhan akademik yang telak bertekuk lutut dibawah laku spiritual yang selama ini dipersepsikan sebagai klinik.
Akibatnya, proses pembelajaran yang patut dijalani dan ditekuni guna memiliki kematangan berpikir serta bijak dalam memilih dan menentukan sikap serta langkah yang patut ditempuh, pada akhirnya cuma bisa dilakukan melalui jalan pintas. Sosok menyogok, termasuk hasrat untuk cepat kaya, sehingga untuk membiayai sarana ibadah pun duitnya tak peduli dari cara yang tidak halal dilakukan. ***
(Penulis merupakan seorang Pengamat Politik)