Legenda Kayu Kaboa; Raden Kian Santang dan Prabu Siliwangi

Foto dari berbagai sumber (Istimewa)

Legenda Kayu Kaboa; Raden Kian Santang dan Prabu Siliwangi
Ditulis oleh I. Dimas Permana

Bacaan Lainnya
Foto dari berbagai Sumber (istimewa)

PERTEMUAN yang tidak disangka-sangka antara Raden Kian Santang dan Prabu Siliwangi, di Lebaksangka, Kampung Bojongsarung, Desa Lebak Gedong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi sebuah legenda tersendiri. Dalam “perang” itu tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Pertarungan seimbang. Karena masing-masing memiliki ilmu sakti mandraguna.

Prabu Siliwangi tidak lantas membuatnya jadi Islam (tunduk/menyerah). Prabu Siliwiangi, berkata kepada anaknya, Raden Kian Santang; “Coba kamu pegang ujung kayu kaboa yang ada di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya!”

Perkataan Prabu Siliwangi mengandung makna yang sangat mendalam. Saat keduanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa, merupakan sebuah simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu. Dua keyakinan antara keyakinan dirinya dan keyakinan anaknya Raden Kian Santang.

“Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih dan memeluk agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa dengan mudah untuk di rubah seperti membalikkan telapak tangan. Demikianlah, jawaban Prabu Siliwangi dengan bijak, saat menolak ajakan putranya untuk berganti agama.

Dalam Uga Wangsit Siliwangi di tulis; “Kalian harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran. Bukan Pajajaran saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan zaman. Pilihanku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau rakyatnya lapar dan sengsara. Dengarkan, yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan. Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara. Yang ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur. Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat. Setelah selesai mengucapkan hal tersebut, Sang Prabu, wujudnya menghilang seketika dan orang Sunda mengatakannya sebagai ngahiang.

Foto dari berbagai Sumber (istimewa)

Tapak bekas adu “jejaten” dengan ilmu “nurus bumi” antara Raden Kian Santang dan ayahnya Prabu Siliwangi, menjadi sebuah lorong panjang (masuk ke perut bumi) sampai ke sebuah lubang di Lebaksangka. Masyarakat Lebaksangka menyebutnya sebagai geuleumeung hideung (Cikahuripan). Geuleumeung Hideung dalam bahasa Sunda artinya lorong yang gelap atau terowongan bawah tanah sangat gelap. Masyarakat Lebaksangka menyakini bahwa geuleumeung hideung menghubungkan dari Batu Tulis (Bogor) hingga ke Keraton Pajajaran.

Terowongan “si geuleumeung hideng” sudah ditutup karena apabila ada manusia yang masuk ke dalamnya, orang tersebut tidak akan bisa kembali lagi untuk keluar. Oleh sebab, suasana terowongan yang sangat gelap dan udara yang pengap dan tidak bisa leluasa masuk ke dalamnya sehingga orang yang masuk dapat kehabisan oksigen untuk bernafas. Pintu masuk menuju geuleumeung hideung ditutup dengan sebuah lempeng batu besar dan di atasnya ditandai dengan sebuah tugu batu. Masyarakat menyebutnya sebagai paku bumi.

Sepeninggal ayahnya, Raden Kian Santang berniat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Lalu beliau mengumpulkan tujuh kasepuhan yang ada di seluruh Pulau Jawa. Maka terkumpulah tujuh para leluhur yang ada di Pulau Jawa yakni Leluhur Parungkujang atau Prabu Siliwangi (bidang kepangkatan/jabatan), Leluhur Sajra atau Abuya Kayu Buyut Mangun Tapa (bidang keselamatan), Leluhur Menes atau Kyai Sapuling Sakti (bidang agama), Leluhur Pangawinan (bidang pertanian), Leluhur Parahyang (tempat para Hyang atau leluhur/dewa), Leluhur Sobang dan Leluhur Bongbang.

Tujuh leluhur itu dianggap mewakili dari tiap-tiap daerah yang ada di Pulau Jawa untuk bermusyawarah merencanakan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Tempat berkumpul untuk bermusyawarah tersebut masih terdapat di Situs Kosala Lebak sangka hingga sekarang ini. Masyarakat Lebaksangka mengenalnya dengan Altar Tempat Bermusyawarah.
Bukti peranan Raden Kian Santang dalam proses penyebaran agama Islam di daerah Lebaksangka (khususnya di Situs Kosala) berwujud altar yang diatasnya terdapat batu-batu pelor dengan jumlah tertentu yang setiap jumlahnya menunjukkan tentang filosofi hidup manusia.

Batu pelor berjumlah 1 : bermakna Tuhan Yang Masa Esa (Tunggal).
Batu pelor berjumlah 2 : bermakna sesuatu yang bertolak belakang seperti siang dan malam, pria dan wanita.
Batu pelor berjumlah 3 : bermakna ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan Allah yaitu nikmat Islam, Iman dan Ikhsan.
Batu pelor berjumlah 4 : bermakna arah mata angin yaitu barat, timur, selatan dan utara.
Batu pelor berjumlah 5 : bermakna Rukun Islam.
Batu pelor berjumlah 6 : bermakna Rukun Iman.
Batu pelor berjumlah 7 : bermakna jumlah hari dalam seminggu, jumlah tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi serta tujuh keturunan manusia.

Makna yang terkandung dalam jumlah batu-batu pelor menjadi ajaran kebaikan sebagai filosofi (pandangan hidup) masyarakat Lebaksangka dalam beragama Islam.—(dari berbagai sumber)

Pos terkait