Oleh Sudrajat Maslahat, S.IP,.M.Ikom
DALAM sebuah dialog kebangsaan yang membahas Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK-2, sejumlah tokoh nasional dan aktivis berkumpul di Al Jazeera Signature Resto, Menteng, pada 7 November 2024. Hadir di antaranya Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi, Mayjen TNI (Purn.) Suharto, Mayjen TNI (Purn.) Soenarko, Brigjen TNI (Purn.) Purnomo, Kolonel TNI (Purn.) Sugeng Waras, Said Didu, Marwan Batubara, Roy Suryo, Muslim Arby, Musrsalin, Akhmad Khozinudin, dan Syafril. Para tokoh ini memaparkan sejumlah persoalan mendasar yang menyoroti lemahnya birokrasi dan dugaan pelanggaran hukum dalam PSN PIK-2, baik sejak tahap penetapan maupun pelaksanaannya.
Saya memandang bahwa permasalahan PSN PIK-2 ibarat puncak gunung es yang tampak kecil di permukaan, tetapi menyimpan persoalan besar di bawahnya. Yang menjadi sorotan utama adalah mengapa proyek swasta yang hanya menguntungkan pengembang dapat memperoleh status sebagai PSN, dengan berbagai fasilitas dan kemudahan perizinan, penggalangan sumber daya, hingga penggunaan aparat negara dari pusat hingga daerah. Kemudahan semacam ini jelas merupakan hak istimewa yang semestinya dikhususkan untuk proyek yang benar-benar memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat luas.
Dalam paparannya, Marwan Batubara menegaskan bahwa setidaknya terdapat enam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaan PSN PIK-2. Marwan juga mencurigai keterlibatan saham atau investasi oleh pihak tertentu dalam proyek ini, di antaranya dugaan kaitan kepemilikan saham oleh tokoh-tokoh besar melalui entitas bisnis PANI. Saham PANI melonjak drastis setelah pemerintah menetapkan 14 PSN baru, termasuk Green Area dan Eco-City di lokasi PIK-2 yang terletak di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Diketahui bahwa PANI adalah salah satu pengembang properti di Jakarta Utara, yang membangun kawasan PIK-2 dengan konsep gaya hidup dinamis dan modern. Dalam keterangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, PIK-2 disebut sebagai proyek “Tropical Coastland” seluas 1.756 hektare yang diklaim ramah lingkungan dan dirancang sebagai destinasi wisata hijau, dengan nilai investasi sekitar Rp 65 triliun.
Namun, Said Didu dalam pernyataannya menyoroti ketimpangan keuntungan yang diperoleh pengembang dari pembelian lahan masyarakat dengan harga rendah, sekitar Rp 50 ribu per meter persegi, yang kemudian dijual kembali dengan harga fantastis hingga Rp 30 juta per meter persegi setelah pembangunan selesai. Marwan menyatakan wajar jika rakyat menuntut ganti rugi hingga Rp 10 ribu triliun sebagai kompensasi atas kehilangan lahan mereka dan dampak negatif lainnya.
Para purnawirawan yang hadir, seperti Fachrul Razi, Suharto, Soenarko, Purnomo, dan Sugeng Waras, juga menyoroti potensi ancaman terhadap keamanan negara serta posisi strategis Jakarta sebagai ibu kota yang dapat terdampak oleh PSN PIK-2. Mereka mengkhawatirkan bahwa proyek besar ini berpotensi membentuk “negara dalam negara” yang pada akhirnya hanya menciptakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan bagi rakyat kecil.
Oleh sebab itu, seluruh narasumber dalam dialog tersebut sepakat bahwa PSN PIK-2 yang sarat dengan masalah ini mendesak segera dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pembatalan PSN PIK-2 dianggap sebagai langkah penting untuk menegakkan keadilan dan melindungi kedaulatan negara serta menghindari semakin besarnya jurang ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin.–(***).
*). Penulis, Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Lebak, Banten