Minat Baca Vs Daya Baca

Minat Baca Vs Daya Baca

Oleh, Dian Martiani*-

TULISAN  ini terinspirasi dari diskusi saya dengan seorang guru Fisika SMA senior jebolan kampus ITB.  Beliau kerap mengomentari tulisan saya, sembari mendiskusikan point-point penting isinya menurut ulasan beliau. Kebiasaan yang selalu saya apresiasi, karena jarang-jarang ada yang memberi feedback serius terhadap tulisan saya yang dimuat sebagai opini dibeberapa media cetak maupun on line.

Bacaan Lainnya

Saya bertanya, mengapa beliau suka sekali membaca. Rupanya kebiasaan ini sudah tertanam sejak kecil. Orang tuanya sering kali meminta beliau membaca koran langganan keluarga, kemudian diminta mengambil intisari dari berita yang dibacanya, lalu menceritakannya. Sudah bisa ditebak berapa rentang usia beliau, karena beliau hidup di zaman Koran/Media Cetak masih populer sebagai sumber media, selain radio dan televisi. Namun budaya literasi (membaca)nya membuat kita kagum.

Budaya membaca di dalam keluarga, yang diterapkan sejak dini, ternyata mampu menjadikan budaya ini tertanam hingga usia beliau hampir memasuki pensiun.  Semangat membacanya bahkan mengalahkan anak muda.  Judul tulisan ini, terinspirasi dari perkataan beliau, bahwa boleh jadi minat baca kebanyakan generasi muda saat ini tinggi, namun daya bacanya rendah.  Sebuah pernyataan yang menggelitik naluri menulis saya.

Laman Perpusnas. goid menyebutkan definisi minat adalah dorongan hati yang tinggi untuk melakukan sesuatu, maka “minat baca” adalah dorongan dari hati yang tinggi untuk membaca. Minat baca masyarakat Indonesia, baik generasi muda maupun yang sudah berusia lanjut, dinilai masih signifikan. Minat baca yang dimaksud baru seputar membaca ringan, membaca media sosial, dan membaca gambar/video.  Saat ini, orang lebih suka asyik sendiri dengan gadgetnya ketimbang bercengkrama dengan orang disekitarnya.

Laman KemenKominfo RI menyebutkan sebuah fakta bahwa ada 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget (urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget). Lembaga riset digital marketing Emarketer menyatakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Indonesia menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Minat baca seperti ini belum dikategorikan minat baca yang dimaksud secara lazim.  UNESCO menyebutkan Indeks Literasi Indonesia sangat rendah , artinya minat baca orang Indonesia sangat rendah, hanya 0,001%.  Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!.  Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.

Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per-Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.

Salah satu yang menakjubkan, Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Tidak hanya cerewet, Microsoft menilai, Netizen Indonesia netizen yang kasar.  Publikasi yang mengundang keprihatinan.

Kemajuan teknologi dengan fitur-fitur canggih membuat orang khususnya generasi muda malas untuk membaca buku.(RRI co.id).  Membaca secara mendalam dengan penuh analisa.  Kita masih merindukan tulisan-tulisan, bahkan buku yang berasal dari kaum muda sebagai produk dari bacaannya. Hal yang pernah ditunjukkan oleh generasi terdahulu yang menunjukkan ketinggian intelektual dan semangat perjuangan.

Sebuah referensi menyebutkan, Soekarno pernah menelurkan dua jilid buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, hingga pidato yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pancasila. Bung Hatta ,Ia memberikan maskawin berupa buku  yang ditulisnya berjudul Alam Pikiran Yunani kepada istrinya, Rahmi Rahim. Ki Hadjar Dewantara menulis Een voor Allen maar Ook Allen voor Een atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga” dan Als ik een Nederlander was atau ”Seandainya Aku Seorang Belanda”. Ki Hadjar Dewantara juga mempelopori gagasan kemerdekaan berpikir sebagai proses pendidikan.

Mengapa tokoh-tokoh itu sampai bisa menulis, bahkan menulis buku? Mereka memiliki daya baca yang tinggi.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), daya baca, berarti kemampuan membaca.  Tidak hanya berminat, namun juga memiliki kemampuan untuk menangkap isi bacaan, menganalisa, memahami intisarinya, membandingkan dengan referensi yang lain, bahkan mereproduksinya.  Mereproduksi berarti menuliskan apa yang dipahami dari bacaan, menjadi sebuah tulisan baru, hasil karya pikirannya.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang peradabannya tumbuh ditengah budaya literasi yang tinggi.  Peradaban tidak bisa dibangun tanpa budaya baca, walaupun budaya baca bukan satu-satunya penentu peradaban suatu bangsa(LPMP Jatim).  Membaca dalam artian tidak sekadar membaca melainkan disertai penggalian lebih lanjut serta rekonstruksi keilmuan dari akumulasi berbagai pengetahuan.

KBBI menyebutkan dua makna istilah literasi, yaitu: (1) kemampuan menulis dan membaca; (2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu.  Pemerintah sendiri menyebutkan terdapat enam literasi dasar yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara, yakni literasi baca-tulis-hitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi keuangan, literasi budaya, dan literasi kewarganegaraan (Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi VI/Oktober-2016).

Menurut Elizabeth Sulzby (1986) dalam laman unsoer.ac.id, Literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, berbicara, menyimak dan menulis”.  Dalam literasi lain bahkan dikatakan mendengar aktif, merupakan salah satu dari kemampuan literasi.  Dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat, sejak 2016, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat.

Fuad Hasan yang pendapatnya senada dengan pandangan Miller dan McKenna (2016) mengenai empat faktor yang dapat memengaruhi terjadinya aktivitas literasi.  Empat hal ini yang perlu ditingkatkan jika ingin angka minat baca sekaligus daya baca meningkat.

Empat dimensi itu adalah; Pertama Proficiency atau kecakapan membaca disertai kegiatan pembinaan dan pembiasaan, hingga menjadi budaya, Kedua Akses terhadap sumber-sumber literasi, Ketiga Alternatif pilihan perangkat bacaan, dan Keempat Lingkungan yang mendukung tumbuhnya habit/kebiasaan membaca, baik di rumah, di sekolah, dan di masyarakat secara umum (Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Fenomena yang terjadi pada generasi saat ini, tidak hanya pada rendahnya minat dan daya baca, namun ketergantungan generasi muda ini terhadap kemudahan hidup karena efek Tekhnologi.  Seorang Praktisi Pendidikan, Hadi Kusumah, mengatakan kemudahan layanan karena kemajuan tekhnologi ini, menyebabkan generasi muda menjadi malas bergerak, dan cenderung ingin dilayani.  Hal ini berimbas juga kepada cara mereka menyuarakan aspirasi.

Jika dahulu kita melihat anak muda menyuarakan aspirasi dan heroisme dengan dengan cara turun ke jalan, maka hari-hari terakhir, kita melihat mereka saat ini banyak menyuarakan melalui media sosial saja.   Meme yang diunggah beberapa waktu lalu, bertajuk Jokowi The King of Lip Service, adalah salah satu contoh kritik sosial yang mereka sampaikan, dan sempat menjadi Viral di negeri ini.

Sebenarnya menyuarakan lewat media sosial menjadi sah-sah saja. Namun hendaknya disertai juga dengan membaca berbagai referensi mengenai berbagai gerakan.  Menghidupkannya dalam berbagai diskusi, dan mereproduksi hasilnya berupa dokumen tertulis, bahkan buku sebagai buah karyanya.

Daoed Joesoef, dalam Bukuku Kakiku, 2004 menyatakan bahwa “Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.”

Belajar dari sejarah, Islam pada saat berjaya, adalah saat dimana umat Islam sangat membudayakan kegiatan literasi (baca-tulis).  Zaman Kejayaan Islam (750 M – 1258 M) adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur dari Dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka sendiri. (Wikipedia Indonesia).

Kita semua turut bertanggung jawab untuk mengembalikan minat dan daya baca generasi muda Indonesia, jika bangsa ini ingin menjadi maju, besar, dan disegani bangsa-bangsa di dunia. Maka mari bangkitkan budaya Literasi dalam jiwa-jiwa generasi muda kita.  Sebelum terlambat, dan kehilangan momentum serta potensi bernas mereka.–(***)

*Penulis adalah Praktisi Pendidikan, Penulis 10 Buku

Pos terkait