Mural dan Tembok Runtuh Demokrasi

      Mural dan Tembok Runtuh Demokrasi

Oleh, Topan Aribowo Soesanto

INDONESIA negeri dengan beragam budaya serta kearifan lokal menjadi identitas nenek moyang sedari dulu. Beragam bahasa pemersatu di setiap daerah tidak bisa dipisahkan dari jejak para pejuang. Sabang sampai Merauke tiada batas.

Bacaan Lainnya

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sebagai landasan fundamental dalam sendi ideologi bernegara yang tersirat dalam musyawarah untuk mufakat. Komunikasi dan dialog dalam bernegara sebuah keharusan dalam menyampaikan segala bentuk gagasan, ide, kritik serta masukan untuk kemaslahatan bernegara tentu yang sesuai dengan tata dan krama yang tertuang dalam kontek sosial kemasyarakatan.

Dalam sejarah pergerakan, komunikasi menjadi penentu untuk mendobrak kaum penjajah. Untuk menuangkan suara – suara sumbang yang tertulis di sepanjang tembok jalan. “Indonesia Freedom”, Indonesia Never Again The Life Blood Any Nation” salah satu tulisan yang begitu familiar kala itu, terpampang jelas di tembok pinggir jalan, penyemangat perjuangan sekaligus bentuk perlawanan kaum pribumi terhadap para penjajah di bumi Nusantara. “Tembok runtuh” menjadi sarana meluapkan kritik kepada pemangku kebijakan tiran kala itu. Ketika ruang komunikasi tersumbat, tidak terserap begitu apik di tengah “kegaduhan” polemik sosial politik yang terjadi.

Peran komunikasi dalam demokrasi begitu sangat penting sebagai penyeimbang pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Ruang pengawasan setiap butir kesepakatan yang di sepakati dalam parlemen untuk kepentingan dan keperluan masyarakat semua lapisan menjadi acuan ketuk palu setiap keputusan, bukan sebaliknya, seperti lirih menutup mata dan telinga.

Suara aspirasi rakyat menjadi surat sakti bagi pemerintah sebagai perangkat menjalan konstitusi, lagi,bukan sebaliknya. Seperti di lansir dari imural.id melihat perkembangan mural kini bukan hanya sebagai media gambar ungkapan kritik sosial dengan tulisan dan gambar di media tembok. Jika dulu mural hanya sebagai bentuk ungkapan, mengkritisi masalah sosial lewat gambar dan tulisan di dinding jalanan, trotoar, kini mural menjadi “bisnis manis seni lukis“.

Bisa Anda lihat sekarang, mural menjadi salah satu pilihan untuk mempercantik interior. Bahkan mural juga menjadi daya tarik tersendiri sebagai spot foto yang menarik.
Tidak heran jika kini banyak sekali cafe, restoran, hotel, apartemen hingga rumah menggunakan lukisan dinding atau mural sebagai Point of View dari sebuah ruangan.
Mural menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke cafe atau resto. Mural yang dibuat disesuaikan dengan selera, konsep cafe/restonya sendiri hingga menjadi media branding secara tidak langsung.

Komunikasi publik dalam ruang sosial terbuka tidak bisa kita terima di bangku sekolah. Hanya bisa muncul di tengah kegabutan komunikasi sosial yang tidak tuntas di dengar serta tersampaikan.

Perkembangan mural menjadi sorotan kita semua, beberapa hari ini di media. Seiring dengan perkembangan gejolak sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Mural menjadi perbincangan seolah baru dalam dunia seni. Setelah beberapa spot menjadi bulan- bulanan after- before di dunia maya, menjadi tontonan apik ketika kasus korupsi di bully lebih berempati. Sempat menjadi ramai terutama bagi kalangan politisi birokrasi.

Musyawarah untuk mufakat seperti terkurung dalam kerangkeng besi. Sulit terungkap tulus ketimbang ego jabatan. Mural bukan sekedar street art semata ketika suara sumbang di sumbat oleh kebijakan. Bijak sana, bijak sini yang pada akhirnya suara nurani tersakiti. Mural seperti bahasa kopi pembuka cerita pagi hari.Kearifan lokal bahasa, penuh inspirasi, keluh kesah, tawa dan canda serta harapan untuk mengawali hari yang panjang penuh perjuangan kerasnya kehidupan.

Semoga ada hikmah dalam setiap kisah yang terjadi di negeri ini, lekas pulih dan segera membaik. Jadikan semua keluh kesah dengan beragam media bisa menjadi masukan yang di respon secara arip dan bijaksana. Mural seolah menjadi bahasa ibu bagi anaknya yang rindu akan orang tuanya, yang selalu mengayomi dan menyayangi dengan  penuh kasih dan cinta.–***)

*)Penulis seorang pendidik, tinggal di Kota Rangkasbitung, Banten

Pos terkait