Oleh Rasiani Amelia
Daerah Otonomi Baru (DOB) Cilangkahan telah menjadi wacana sejak 2004, namun hingga kini belum juga terwujud. Selama 24 tahun terakhir, sejumlah aktivis sosial dari wilayah Lebak Selatan, terus berjuang dengan semangat yang tak kenal lelah meskipun cita-cita tersebut masih tampak samar. Katanya, “Belum waktunya, jadi nunggu apa?….. Nunggu makin ketinggalan?”.
Selama 24 tahun terakhir, suara aktivis perempuan Lebak Selatan nyaris tak terdengar dalam perjuangan DOB Cilangkahan. Meskipun suara mereka saat ini masih terdengar samar, semangat warga Lebak Selatan dalam memperjuangkan pemekaran harus terus menggelora hingga dicabutnya moratorium.
DOB Cilangkahan sangat berpengaruh pada kesejahteraan perempuan. Oleh karena itu, betapa pentingnya aktivis perempuan yang tergabung dalam organisasi kepemudaan untuk menyuarakannya dengan lantang.
Disadari atau tidak, perempuan Lebak Selatan saat ini masih termarjinalkan karena akses menuju ibu kota kabupaten yang cukup jauh. Bayangkan, dari Kecamatan Cilograng ke Rangkasbitung harus menempuh waktu kurang lebih 4-5 jam, bahkan bisa 6 jam menggunakan kendaraan pribadi, dalam keadaan jalan yang rawan di malam hari. Padahal, pendapatan daerah Kabupaten Lebak 70% berasal dari sumber daya alam Lebak Selatan, tetapi warga Lebak Selatan sendiri begitu sulit mencapai ibu kota kabupaten ini.
Hal tersebut seharusnya disadari oleh perempuan-perempuan di Lebak Selatan yang duduk di bangku kuliah sebagai agen kemajuan masyarakat. Ini adalah persoalan yang membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas. Khususnya perempuan muda yang seharusnya memiliki pengalaman luas dan merasakan fasilitas daerah untuk menunjang perkembangan daya pikir dan pembentukan pola pikir, justru tidak dirasakan oleh perempuan-perempuan Lebak Selatan. Akibatnya, keberdayaan perempuan Lebak Selatan melemah.
Apa bukti bahwa hal tersebut berpengaruh pada pengalaman perempuan? Coba perhatikan, warga Lebak Selatan mengunjungi Kota Rangkasbitung terkesan seperti tamu, terlihat asing, dan merasa “wah”, padahal fasilitasnya biasa-biasa saja. Ada taman hati yang penuh keruwetan karena letaknya pas di lampu merah, taman angklung yang kumuh karena terlalu banyak debu dari mobil proyek, atau makam pahlawan yang sering tertutup. Bagi warga di Kota Rangkasbitung, hal tersebut sudah biasa saja, tapi bagi warga di wilayah Lebak Selatan, itu menjadi sesuatu yang luar biasa. Bukankah ini sebuah kesenjangan sosial pada pengalaman perkembangan perempuan?
Selain itu, proses administrasi yang memakan waktu dengan birokrasi yang ruwet, dan lagi-lagi perempuan lebih dirugikan daripada laki-laki. Akses pengalaman perempuan yang terbatas harus dihadapkan dengan banyak persoalan, seperti menempuh jarak yang sangat jauh, memerlukan biaya lebih besar, sedangkan upah yang diterima tenaga kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Pajak yang dibayarkan perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Akibatnya, hal ini berdampak pada kesejahteraan perempuan. Satu persoalan saja sudah melahirkan banyak kesenjangan yang membuat perempuan Lebak Selatan semakin terkungkung.
Akses yang jauh ke pusat pemerintahan membuat perempuan semakin tak berdaya, pelecehan seksual yang dinormalisasi oleh kurangnya edukasi, anak-anak muda lebih rentan menjadi pengangguran karena kurangnya informasi, infrastruktur menuju sekolah yang memadai membuat minat sekolah menurun, literasi makin rendah, kesehatan menjadi sulit, dan tidak ada yang menjamin keselamatan perempuan hamil di pelosok desa. Semua itu karena akses menuju pusat pemerintahan yang harus ditempuh sangat jauh.
Dengan kultur budaya patriarki yang membentuk perempuan menjadi lebih pasrah pada keadaan, ditambah dengan akses ke pusat pemerintahan yang menguras energi, mental, dan materi, kaum perempuan memilih pasrah dan menyerahkan segala urusan sosial pada laki-laki. Akibatnya, perempuan Lebak Selatan menjadi bergantung pada laki-laki. Padahal, perempuan Lebak Selatan yang berkuliah di luar kota hampir semua mampu bersaing dan menyeimbangi orang-orang kota. Namun, setelah pulang ke kampung halaman, mereka bingung harus melakukan apa.
Sebanyak apapun Lebak Selatan memiliki sumber daya manusia perempuan yang berpotensi, selama masih jauh dari pusat pemerintahan, mereka akan terus termarjinalkan. Untuk keluar dari sangkar itu, perempuan Lebak Selatan harus mengeluarkan dua kali lipat perjuangan dibandingkan dengan anak-anak muda yang hidup di pusat kota daerah.–(***)