Peran Strategis Seorang Penyintas

PEMILU, Perjuangan Vs Kecurangan

Peran Strategis Seorang Penyintas

Oleh, Dian Martiani

Bacaan Lainnya

TIDAK terasa, setahun sudah Pandemi Covid-19 ini kita rasakan.  Semula kita masih terkaget-kaget dan gagap menghadapinya.  Banyak aktifitas yang harus disesuaikan den

Aktifitas di Rumah, di Sekolah, di Kantor, di Pasar, di Mall, bahkan di Rumah Sakit itu sendiri.  Semua harus menyesuaikan, harus mengikuti protokol, jika terpaksa harus dilakukan secara tatap muka.  Untuk menghindari penyebaran virus ini, orang lebih suka mengambil pilihan yang lebih aman.

Work from Home (bekerja dari rumah), berjualan on line, rapat-rapat on line, sampai pembelajaran yang semula dilakukan secara luring (luar jaringan/tatap muka), sekarang kebanyakan dilakukan secara daring (dalam jaringan).  Pembelajaran Daring dikenal juga dengan istilah BDR (Belajar dari Rumah), atau PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).  Jika terpaksa harus bertatap muka, maka menjaga Protokol Kesehatan adalah sesuatu yang harus dibudayakan.  Sudah harus terbiasa, menjadi Kebiasaan Baru untuk hidup norma (New Normal).

Protokol kesehatan, minimal 3 M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak), awalnya masih harus dipaksa di kalangan masyarakat.  Kini, Protokol itu (semoga) sudah menjadi budaya.  Sehingga angka penularan Covid-19 bisa ditekan serendah-rendahnya.

Dimasa-masa awal, mereka yang terpapar Covid-19 merasa terpukul secara psikologis. Diasingkan, dikucilkan, dijauhi, bahkan ditakuti.  Mereka yang tak bisa diselamatkan jiwanya, penyelenggaraan jenazahnya diperlakukan khusus, sesuai protokol, dikebumikan, tanpa dihadiri oleh keluarga, oleh petugas kesehatan dengan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap seperti astronot.  Membuat psikologis keluarga yang ditinggalkan begitu terganggu.

Berjalannya waktu, proses edukasi dan sosialisasi terus dilakukan.  Hal ini menyebabkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat dalam menghadapi situasi Pandemi semakin baik.  Masyarakat sudah tidak lagi menganggap mereka yang terpapar  Covid-19 adalah sebuah aib atau harus ditakuti.

Seiring meningkatnya kompetensi masyarakat, maka tingkat kesembuhan semakin meningkat. Kesembuhan Covid-19 Indonesia, mengalami kenaikan (Liputan6.com Jakarta). Dalam laman yang sama, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, mengatakan belakangan ini persentase kasus kematian akibat Covid-19 terus menurun,  dan tingkat kesembuhan semakin tinggi.  Mereka yang sembuh inilah yang kita kenal dengan istilah penyintas.

Penyintas berarti survivor atau mereka yang bertahan hidup.  Dalam masa Pandemi, Penyintas Covid-19 dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yakni orang yang mampu bertahan hidup melawan Covid-19.  Penyintas Covid bisa juga disebut orang yang sembuh dari Covid-19.  Pastilah mereka yang telah berjuang keras untuk itu.

Para penyintas ini menurut saya adalah sumber ilmu.  Kumpulan pengalaman yang mereka rasakan, kelak akan menjadi suatu teori.  Mereka adalah bukti sejarah yang mahal harganya. Sudah selayaknya pengalaman keterpaparannya kita ambil sebagai pembelajaran.

Tak jarang para penyintas ini menjadi narasumber bagi mereka yang ingin mengetahui bagaimana rasanya ketika terpapar.  Gejala apa saja yang dialami, kemudian terapi apa saja yang dilakukan, diet apa yang dianjurkan, kebiasaan apa yang mempercepat kesembuhan, dan sebagainya.  Dalam hal ini berlakulah pepatah “pengalaman adalah guru yang paling baik”.

Dalam buku saya dan teman-teman di Kelas Menulis Adzkia, “Corona dalam Aksara”, kami menyediakan bab tersendiri untuk para penyintas.  Agar pengalaman mereka bisa dibagikan sebagai pembelajaran.  Ada kisah mengharu biru, ada inspirasi yang bisa dibagi, ada perasaan yang teraduk-aduk, sekaligus ada harapan dan hikmah yang bisa diselami.

Awalnya, salut dengan cerita-cerita perjuangan mereka untuk sembuh.  Cerita berbagai pelayanan tenaga kesehatan dan Rumah Sakit yang beragam.  Kerinduan pada keluarga yang membuat hati meleleh.  Semangat berjuang yang terpompa demi keinginan untuk segera pulih.  Tak disangka, pada akhirnya sayapun menjadi bagian dari mereka, sebagai penyintas.

Bukan cuma saya dan rekan-rekan, namun dibanyak tempat, para penyintas ini kemudian banyak bergabung membentuk sebuah komunitas sosial.  Komunitas Penyintas.

Tujuan komunitas ini untuk berbagi informasi dan pengalaman.  Saling memotivasi dan menyemangati.  Berbagi tips.  Yang mengharukan, komunitas ini juga sebagai penggagas penggalangan donasi bagi para pasien Covid-19. Luar biasa.

Sebagai “alumni”, para penyintas merasa memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menyelamatkan “junior”nya.  Berharap junior-juniornya menjadi penyintas juga, tidak malah berakhir di pemakaman.

Donasi yang digalang, selain untuk mensupport pasien, juga mensupport anak-anak yang terpaksa ditinggal sementara di rumah oleh orang tuanya, terutama ibunya yang harus diisolasi di Rumah Sakit karena terpapar Covid-19.

Karakter masyarakat Indonesia yang suka bergotong royong, menjadi kebaikan tersendiri saat Pandemi seperti ini.   Ada banyak cerita tentang haru biru kisah cluster keluarga ini. Berharap suatu saat, saya bisa menuliskannya untuk anda.   Semoga.—(***)

*). Penulis adalah seorang pendidik, tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat

Pos terkait