Oleh, Hayat Syahida
TIADA kawan yang abadi ataupun lawan yang abadi di dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan. Proses pemungutan suara Pemilu 2024 sudah usai dalam tahap pelaksanaan pencoblosan dan kini masuk dalam tahapan penghitungan suara.
Riak gelombang kritik dari berbagai eleman masyarakat menyampaikan asprasi terus bergulir, terutama saat melihat hasil penghitungan suara sementara melalui media website KPU ataupun yang beredar di media sosial. Sementara para petinggi partai nampak mulai memasang ancang-ancang dan saling melirik, untuk melihat peluang yang bisa menguntungkan kepentingan partainya di masa mendatang.
Surya Paloh, misalnya, sudah mulai melangkah walaupun nampak masih gengsi, siapa yang mengundang dan siapa yang di undang. Tapi yang pasti Surya Paloh dan Jokowi sudah makan malam bersama yang memungkinkan mereka berbicara bagaimana menjaga kondusipitas negara kedepan.
Ini mengisyaratkan, kemungkinan, Nasdem akan menjadi koalisi pemerintahan Prabowo kedepan, dan Jokowi sebagai jembatanya. Sementara Partai PKB yang partainya mulai gemuk, sebenarnya punya potensi untuk menjadi oposisi. Akan tetapi jika melihat tradisi PKB yg selalu jadi koalisi dari pemerintahan sebelumnya, kemungkinan akan mencari aman untuk ikut bergabung bersama Pemeritahan Prabowo -Gibran .
Tinggal sekarang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua partai ini sudah terbiasa menjadi oposisi .
Dalam prediksi saya PDIP akan lebih menguntungkan untuk menjadi oposisi guna mendapatkan simpati para pendukungnya di masa depan. Selain itu, pemerintahan dengan koalisi gemuk akan memudahkan segala kebijakanya “dimanipulasi” karena tidak ada kontrol dari oposisi dan ini dapat membahayakan demokrasi. Saya berharap PDIP semoga tetap teguh untuk menjadi penyeimbang pemerintahan yang akan datang.
Tinggal sekarang Partai PKS sebagai partai pendukung Anis, saya masih belum membaca arahnya. Sebagai oposisi dia juga punya pengalaman seperti PDIP. Apabila Partai PKS dan PDIP menjadi oposisi, nampaknya tidak akan bisa kerjasama secara maksimal, karena PDIP dan PKS tidak memiliki tradisi kerjasama yang baik, bahkan seperti minyak dan air. Kerjasama mungkin hanya untuk hal-hal tertentu saja.
Sementara koalisi gemuk pemerintahan bisa mendominasi dalam pengambilan keputusan – keputusan, sehingga akan menenggelamkan oposisi. Kondisi ini akan berbahaya bagi perjalanan demokrasi di Indonesia kedepan. Wallahualambissawab.–(****)
*).Penulis pemerhati kebijakan publik, tinggal di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten